Pages

Kamis, 03 Desember 2015

Fardlu lebih utama daripada sunah



اَلْفَرْضُ اَفْضَلُ مِنَ النَّفْلِ
Fardlu lebih utama daripada sunah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
“Quaid Fiqh”
Dosen pengampu:
Dr. Ahmad Halil Tahir, M.HI.



Disusun oleh:
Binti Nadhiroh                        (933110713)

Perbandingan Agama
Ushuluddin dan Ilmu Sosial
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
2015



 
A.    Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini banyak orang yang lebih mengutamakan sunnah daripada fardlu. Sebagaimana yang kita ketahui bahwasannya fardlu lebih utama daripada sunnah. Seseorang yang mendahulukan yang fardlu maka akan mendapat pahala 70 kali lipat, daripada sunnah. Namun, ada beberapa amalan sunnah yang pahalanya melebihi atau menyamai fardlu atau sebanding dengan 70 kali. Namun, dengan demikian kita tidak boleh melalaikan yang sunah dan meninggalkan fardlu, begitu juga dengan sebaliknya.
Sunah juga harus tetap dilaksanakan. Karena dengan melaksanakan sunnah dapat menutupi kekurangan kita ketika kita melaksanakan yang fardlu. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Pengertian fardlu lebih utama daripada sunah, Dasar kaidah, Dikursuskan fardlu dan sunah, dan pengecualian terhadap kaidah.





B.     Pengertian fardlu lebih utama daripada sunah
Ritual ibadah, dalam islam memiliki karakter yang berlainan antara satu dengan lainnya. Ada ibadah yang merupakan keharusan yang dikenal dengam fardlu atau wajib, dan ada pula yang hanya menganjurkan pengalamnya (sunah). Perbedaan karakteristik semacam ini memberi pengaruh pada tinggi rendahnya derajat ibadah tersebut serta besar kecilnya kadar pahala yang akan diperoleh. Ibadah fardlu, dalam konteks ini dianggap lebih memiliki keutamaan dibandingkan dengan sunah, karena secara logis keharusan untuk mengamalkannya telah menunjukkan bahwa ibadah semacam ini memiliki makna yang penting dan krusial dalam pandangan syura’.
Perbandingan peringkat antara ibadah fardlu dengan sunah, jika merujuk pada pendapat ibnu hajar dalam al-tuhfah, batas maksimalnya mencapai 70 derajat, satu ibadah fardlu yang dikerjakan berhak atas imbalan pahala senilai 70 kali pelaksanaan ibadah sunah.  Pendapat ini senada dengan komentar al-haramayn yang menyatakan bahwa Allah swt. telah memberi ketentuan pada Nabi-Nya akan kewajiban beberapa amal ibadah, yang tidak diwajibkan pada selain beliau (al-khushushiyyat). Pemberian ini semata-mata merupakan bentuk pengagungan yang diberilan Allah swt kepada kekasih-nya, Muhammad saw, dengan konsekuensi akan lebih memperbesar nilai pahala hingga 70 kali lipat disbanding ibadah yang tidak diwajibkan.
C.     Dasar kaidah
Kaidah ini merupakan kesimpulan dari beberapa hadits yang menerangkan pengertian diatas dengan berbagaai redaksi yang berbeda, diantaranya hadits qudsi yang diriwayatkan Ibn Khuzamah ra.:
أن رسول الله صّلى الله عليه وسلّم قال فى شهر رمضان مَنْ تَقَرَبَ فِيْهِ بِخَصْلةٍ مِن خِصَال الخَيرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَريضَةً فِيمَا سِواهُ ومَن أدَّى فَريضَةً فيه كَمَن أدَّى سَبعِينَ فَرِيضَةً فيما سِواه
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda tentang keutamaan bulan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya; Barang siapa melakukan taqarrub (ibadah sunnah) kepada Allah swt. di bulan Ramadhan, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana ia melakukan satu ibadah fardlu di bulan lain. Dan barang siapa melakukan satu ibadah fardlu di bulan Ramadhan, maka seperti halnya ia mengajarkan 70 kali ibadah fardlu pada selain bulan itu.”
Awalnya, hadits ini menitik beratkan pada keutamaan bulan ramadhan. Namun dalam perkembangan selanjutnya, sebagian ulama seperti Ibnu Qasim, al-Subuki, dan lain-lain, menjadikannya sebagai pijakan dalil pokok munculnya kaidah ini melalui pemahaman yang berbanding lurus dengan kandungan hadits tersebut, sehingga ketentuan yang dihasilkan juga dapat diberlakukan pada ibadah selain di bulan ramadhan.
Sedangkan menurut al-Syafi’I, al-Haramyn, dan al-Rafi’I, metode penggalian hokum dari hadits di atas adalah dengan proses analogi (qiyas), baik qiyas awlawi ataupun qiyas musawi.
Kalau diteliti lebih jauh, ternyata hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzamahdi atas termasuk kategori hadits dha’if. Oleh karena itu para ulama bersilang pendapat, terutama dalam masalah apakah hadits dha’if bisa dijadikan landasan hokum atau tidak.
Menurut Ibnu Qasim, hadits di atas bisa dijadikan sebagai landasan penetapan hokum. Sebab hadits itu hanya sebagai mediator pendorong untuk melakukan kesunahan (fadla’il al-a’mal) atau sebagai stimulus untuk melaksanakn kewajiban (fardhu). Sedangkan Syeikh Hasan al-Aththar mengatakan; hadits itu bisa dibuat sebagai landasan melakukan fadla’il al-a’mal, dengan syarat hadits tersebut tidak terlalu dha’if dan tidak ada hadits shahih yang menentangnya (ta’arudl).
Dalam perkembangannya, al-Nawawi menjadikan hadits Ibnu Khuzamah ra. Di atassebagai landasan kaidah ini. Dengan argumen, hadits tersebut tidak terlalu dhaif dan dikuatkan dengan hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ra. Yang berbunyi:
عن أبى هريره قال النبى صلّى الله عليه وسلّم فيما يحكيه عن ربّه قال : من عادى لى وليا فقد أذنته بالحرب وما تقرّب الى عبدى بشئ احبّ الّى مماافترضته عليه وما يزال عبدى يتقرّب الّى بالنّوافل حتّى أحبّه (رواه البخارى)
“barang siapa memusuhi kekasih-Ku, maka Aku perkenankan untuk memeranginya. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub pada-Ku yang lebih aku senangi, selain apa yang telah Aku wajibkan. Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub kepada-Ku dengan ibadah sunah kecuali aku mencintainya” (HR. Bukahri)
Dalam riwayat lain disebutkan:

قال صلّى الله عليه وسلم فيم يحكيه عن ربه وما تقرّب إليّ المتقرّبون بمثل أداء ماافترضت عليهم (رواه البخاري)
“Dan tidak ada amalan orng-orang yang bertaqarrub kepada-Ku yang lebih Aku cintai yang menyamai pelaksanaan apa yang telah Aku wjibkan” (HR. Bukahri)
Dan juga sabda Nabi saw. yang mengisahkan firman Allah swt: “ Orang-orang yang mendekatkan diri pada-Ku sebagaiman menjalankan apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya”
D.    Diskursuskan fardlu dan sunah
Yang perlu kita perhatikan dalam upaya memahami makna fardlu dalam kaidah ini adalah dengan memahami unuversalitas fardlu itu sendiri. Yang dimasud fardlu disini adalah semua jenis fardlu, misalnya fardlu iltizam seperti nadzar, dan fardlu asli seperti shalat lima waktu.
Sedangkan untuk memahami perbedaan fardlu ‘ayn dan sunah kifayah adalah dengan melihat sisi kemanfaatannya. Fardlu ‘ayn adalah suatu ketentuan hokum yang sangat ditentukan oleh syariat agar dilaksanakan oleh setiap individu. Hal ini berarti tuntutan yang yang dibebankan harus dipenuhi masing-masing individu tanpa terkecuali. Pelaksaan fardlu ‘ayn oleh satu atau sebagian orang sama sekali tidak berpengaruh terhadap gugurnya fardlu ‘ayn yang diemban orang lain. Sedangkan sunah kifayah adalah suatu formulasi hokum yang penting namun “tudak begitu” ditekankan, yang dilaksanakan tanpa memandang siapa pelakunya. Dalam definisi ini yang dititikberatkan adalah terwujudnya tuntutan dimaksud, tanpa memperdulikan siapa yang mengerjakan.
Maksud keutamaan ibadah fardlu yang melebihi ibadah sunah adalah sudut pandang pahalanya, senada dengan apa yang telah dituturkan al-subuki. Karena, jika kita melihat keutamaan ibadah fardlu, ia berada di atas ibadah sunah jika mempertimbangkan esensi atau hakikatnya (mahiyah). Namun bila dilihat dari sisi pahalanya, maka ibadah sunah pun bisa melebihi utama dengan melihat sisimanfaatnya yang bersifat menyeluruh.[1]
E.     Pengecualianya.
1.      Kasus “ibro’ul mu’sir(اِبْرَاءُ الْمُعْسِر), yaitu kasus membebaskan hutang pada orang yang dalam keadaan kesulitan membayar hutang, lebih utama daripada menunggu ia mampu melunasi hutangnya. Sebab status hukum membebaskan hutang adalah sunah, sedangkan menanti hutang bisa dilunasinya adalah wajib. Keutamaan seperti itu, telah dipertegas dalam surat Al-Baqarah:280
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ -٢٨٠-
Artinya: Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Dengan demikia dapat disimpulkan bahwa pahala pembasan itu lebih banyak dari pada memperpanjanh tempo pelunasannya. Sekalipun status membebaskan tersebut adalah sunah, tetapi pahalanya lebih utama dari pada menati pelunasan yang statusnya hukumnya wajib.
2.      Kasus mengawali salam itu lebih utama daripada menjawabnya. Keutamaan ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa status hokum mengawali salam ada dua:
a.       Sunah kifayah, jika jumlahnya orang yang akan disalami itu banyak. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw:
….يُجْزِئُ عَنْ الْجَمَاعُةِ مُرُوْا اَنْ يُسَلِّمّ اَحَد هُم وَيُجْزِئُ عَنِ الْجُلُوْسِ اَنْ يَرُدَّ اَحَدَهُمْ
Artinya: Salam satu orang itu, kelak (di hari pembalasan) sudah dianggap mencukupi sekelompok orang. Makanya perintahkanlah supaya salah satu dari mereka melakukan salam, dan orang-orang yang duduk sudah dianggap terwakili oleh salamnya orang satu diantara mereka.
b.      Sunah ‘Ayniy, jika orang yang disalami itu hanya seorang. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT surat al-Nur: 61
فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً -٦١-
Artinya: Apabila kamu sekalian memasuki rumah, hendaklah memberi salam, yang berarti memberi salam kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah yang memberi berkah yang baik.
Oleh sebab itu, status hokum memulai salam adalah sunah, sedangkan status menjawab adalah wajib. Sekalipun demikian, memulai itu lebih utama daripada menjawab salam. Hal ini sesuai hadits Nabi saw:
اَلْمَاشِيَانِ اِدَاجْتَمَعَافَأَيُّهُمَا بَدَأَ بِالسَّلَمِ اَفْضَلُ(رواه البخرى عن جابر)
Artinya: dua orang pejalan kaki jika bertemu, maka diantara keduanya yang mendahului mengucap “salam” (kepada kawannya) itulah yang lebih utama.
3.      Kasus status sunah kifayah beradzan lebih utama daripada status fardlu kifayah menjadi imam shalat, sebab imam dalam shalat berjamaah yang tanpa niat menjadi imam sudah bisa menjadi seorang imam. Oleh sebab itu, adzan yang status sunah kifayah, lebih utama daripada menjadi imam yang status hukumnya fardlu kifayah.
4.      Kasus berwudlu sebelum waktu shalat, lebih utama daripada berwudlu setelah tiba waktu shalat, sebab berlakunya kewajiban wudlu itu jika waktu shalat sudah masuk, akan tetapi kewajiban seperti ini tidak bisa dikatakan lebih utama jika dibandingkan dengan wudlu yang dilakukan sebelum waktu shalat masuk.
5.      Kasus orang yang memiliki tanggungan meng-Qodlo’ satu sholat fardlu tetapi tidak mengetahui secara pasti shalat apa saja yang ditinggalkan. Apakah dhuhur, ashar, magrib, isya’, dan subuh. Dalam kondisi seperti ini, yang wajib dilakukan adalah meng-qodlo kelima shalat fardlu tersebut, sekalipun yang ditinggalkan hanya satu satu shalat, sebab tidak diketahui secara pasti shalat apa yang yang ditinggalkan tersebut, sehingga yang harus dikerjakan adalah kelima shalat fardlu sekaligus.
Kasus orang yang meninggalkan satu kewajiban shalat, tetapi ia ragu-ragu dan tidak yakin. Apakah yang ditinggalkannitu shalat dhuhur atau lainnya. Maka orang yang seperti ini, diwajibkan untuk melakukan qodlo’ lima shalat, dengan ketentuan, yang satu berstatus wajib, sedang yang empat berstatus sunah. Keempat shalat sunah tersebut menjadi wajib kerana sebagi sebab dilakukannya satu sholat satu shalat yang fardhu tersebut. Dalam menanggapi kasus ini, para ahli berbeda pendapat, diantaranya ialah:
a)      Imam ‘Izzuddin berpendapat bahwa hal tersebut lebih utama melakukan sholat sunnah yang jelas status kesunahannya.
b)      Imam al-Suyuthiy menyatakan bahwa keempat shalat tersebut berstatus sunnah, selama tingkatannya tidak mengungguli tingkatan sunah mukhaffafah atau paling tidak sama.
6.      Kasus dalam pertengkaran, orang yang bersalah itu wajib mengalah, sedang yang benar adalah mengalah itu sunah bagi masing-masing pihak, demi redanya pertengkaran. Akan tetapi mengalahnya orang yang benar itu, lebih baik daripada mengalahnya orang yang salah. Hal ini dijelaskan oleh hadits Nabi, yaitu:
مَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ وَمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ بَيْتًا فِى رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمَنْ تَرَكَهُ وَهُوَ مُبْطِلٌ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِى رَيْضِ الْجَنَّةِ
Artinya: sipa saja yang meninggalkan suatu perkara, baginya akan dibangun sebuah rumah ditengah-tengah surge. Dan siapa saja yang menghentikan suatu perkara, padahal ia dalam posisi benar maka Allah akan mendirikan baginya rumah di pertamanan surga. Dan siapa saja yang meninggalkannya pertengkaran, padahal ia dalam posisi salah, maka Allah membangun sebuah rumah untuknya pada suatu tempat di surga.
7.      Kasus jika seseorang yang bersalah terhadap orang lain, lalu dimaki-maki maka ia wajib bersabar. Akan tetapi jika ia dimaki-maki, padahal ia tidak bersalah maka ia disunahkan bersabar. Yang lebih utama adalah jika ia bersabar saat dimaki-maki, padahal ia tidak dalam posisi salah.[2]

Kesimpulan
ibadah yang merupakan keharusan yang dikenal dengam fardlu atau wajib, dan ada pula yang hanya menganjurkan pengalamnya (sunah). Perbedaan karakteristik semacam ini memberi pengaruh pada tinggi rendahnya derajat ibadah tersebut serta besar kecilnya kadar pahala yang akan diperoleh. Yang perlu kita perhatikan dalam upaya memahami makna fardlu dalam kaidah ini adalah dengan memahami unuversalitas fardlu itu sendiri. Yang dimasud fardlu disini adalah semua jenis fardlu.
Dalam kaidah ini ada beberapa hal yang dikucualikan, membabaskan hutang pada orang yang dalam keadaan kesulitan membayar hutang, Kasus mengawali salam itu lebih utama daripada menjawabnya, Kasus status sunah kifayah beradzan lebih utama daripada status fardlu kifayah menjadi imam shalat Kasus berwudlu sebelum waktu shalat, Kasus orang yang memiliki tanggungan meng-Qodlo’ satu sholat fardlu tetapi tidak mengetahui secara pasti shalat apa saja yang ditinggalkan, Kasus dalam pertengkaran, Kasus jika seseorang yang bersalah terhadap orang lain, lalu dimaki-maki maka ia wajib bersabar.


Daftar Pustaka

Haq, Abdul Formulasi Nalar Fiqh. Surabaya: Khalista. 2009
Zein, M. Ma’shum. Pengantar Memahami Nadhom Al-Faroidul Bahiyah. Jombang: Darul Hikmah.2010


[1] Abdul Haq, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2009), 208-212
[2] M. Ma’shum Zein, Pengantar Memahami Nadhom Al-Faroidul Bahiyah, (Jombang: Darul Hikmah, 2010), 71-74

0 komentar:

Posting Komentar