BAB
I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Ketika kita menyebut
ma’rifat sebagai pengetahuan sejati, maka ini tidak berarti bahwa seperti jenis
pengetahuan yang lain, yang bisa kita sebut ‘ilm. Sedangkan ‘ilm adalah
ilmu pengetahuan yang tidak benar. Kita menyebutnya pengetahuan sejati, karena
ma’rifat merupakan jenis pengetahuan yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya yang
menghasilkan isi dan metode yang berbeda.
Berbeda dengan ilmu
pengetahuan biasa, maka ma’rifat diraih secara langsung oleh sang ‘arif dan karena itu mendatangkan kepastian bagi
yang mengalaminya dan memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam
tentang yang diketahuinya itu. Misalnya saya merasa yakin bahwa bolpoin yang
saya pakai menulis ini ada karena saya menyentuhnya lewat indra peraba yaitu
jari-jari tangan saya. Tetapi yang disebut pengalaman langsung dalam tasawuf
terjadi bukan pada indrawi tetapi pada tataran intuitif, dan objek yang
dialaminya bisa jadi –bahkan kebanyakan-bersifat nonfisik. Jadi yang dimaksud
pengalaman mistik adalah pengalaman langsung dari hati manusia terhadap
objek-objek nonfisik.
Hal lain yang
membedakan ilmu dan ma’rifat adalah bahwa ilmu dapat diperoleh dengan upaya seseorang,
sedangkan ma’rifat tidak dapat dihasilkan dengan upaya seseorang. Menurut
Nicholson, melalui penalaran rasionalnya yaitu “penyingkapan dan visi
apokaliptik” yang kesemuanya tergantung pada kehendak dan kemurahan Tuhan yang
akan mengkaruniakannya sebagai hadiah kepada mereka yang telah Dia ciptakan
dengan kemampuan untuk menerimanya. Ia seperti cahaya barokah Tuhan yang
membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan
sorotan-sorotannya yang menyilaukan.
I.2.
Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas
dalam makalah ini adalah:
1. Apakah
yang dimaksud dengan ma’rifat?
2. Bagaimanakah arti
ma’rifat kepada Allah yang sesungguhnya?
3. Bagaimanakah
harapan-harapan orang yang berma’rifat kepada Allah?
4. Apakah kekhawatiran
orang yang berma’rifat kepada Allah?
I.3.
Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah :
1. Agar para pembaca dapat mengetahui
pengertian dari ma’rifat.
2. Agar para pembaca dapat memahami arti ma’rifat kepada
Allah yang sesungguhnya.
3. Agar para pembaca lebih mendalami tentang ma’rifat.
4. Agar para pembaca dapat menafsirkan ma’rifat dengan
benar.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1.
Pengertian Ma’rifat
Ma’rifat ialah mengenal atau
mengetahui akan Allah dengan cara memperhatikan segala hasil ciptaanya. Yaitu
mengenal Allah dengan budi daya, mengarahkan segala potensi akal dan batin.
Dasar yang diberikan Rasulullah SAW. Adalah sebuah hadits yang bunyinya:
“Hai Abu Dzar! Sembahlah Allah
seolah-olah engkau melihat kepada-Nya. Bila engkau tidak melihat Allah, maka
yakinkan (dalam hatimu) bahwa Allah melihat engkau.” (al-Hadist)
Dengan ma’rifat kepada Allah, hati
nurani manusia akan selalu dekat kepada Allah. Timbul rasa cinta: penuh harap
dan ketentraman, penuh kegembiraan yang tidak bersumber keduniawiaan. Sebab
sabda Rasulullah SAW.
Artinya: “kecintaan akan dunia itu
adalah pangkal dari segala dosa (kejahatan).”
Orang-orang yang berma’rifat kepada
Allah sering kelihatan tidak suka pada harta kekayaan, padahal tidak. Sebab
lebih jelasnya mereka takut, jangan-jangan harta dunia menyebabkan ia berpaling
dari Allah SWT. Selain itu, kalau Allah memberi rizki, ditolak bagaimanapun,
dihindari atau dihalang-halangi pasti pemberian itu akan sampai kealamatnya.
Rizki yang sudah dekat kebibir kalau itu bukan haknya, tidak akan sampai
kepadanya. Oleh karena itu mereka mantap dengan firman Allah dalam surat lukman
ayat 33:
ٌ
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ
الْغَرُورُ -٣٣
“maka janganlah
sekali-kali kamu terpedaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu
terpedaya oleh penipu dalam (menaati) Allah.”
Tafsir
ayat 33 surat al-lukman
Hai manusia, bertakwalah kepada
Rabb-kalian dan takutlah akan suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak
tidak akan dapat memberikan pertolongan kepada anaknya, dan tidak pula seorang
anak dapat memberikan pertolongan kepada bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya
Janji Allah adalah hak. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali kalian diperdaya
oleh kehidupan dunia, dan jangan pula kalian diperdaya oleh si penipu dalam
(menaati) Allah.
Yā ayyuhan nāsu (hai manusia),
yakni hai penduduk Mekah!
Ittaqū rabbakum (bertakwalah
kepada Rabb-kalian), yakni taatlah kepada Rabb kalian.
Wakh syau yauman (dan takutlah
akan suatu hari), yakni azab pada suatu hari.
Lā yajzī wālidun (yang [pada
hari itu] seorang bapak tidak akan dapat memberikan pertolongan), yakni tidak
akan dapat memberi manfaat.
‘Aw wāladihī wa lā maulūdun huwa jāzin (kepada
anaknya, dan tidak pula seorang anak dapat memberikan pertolongan), yakni dapat
memberikan manfaat.
‘Aw walidihī syai-ā (kepada
bapaknya sedikit pun), dari Azab Allah Ta‘ala.
Inna wa‘dallāhi (sesungguhnya
Janji Allah), yakni kebangkitan sesudah mati.
Haqqun (adalah hak),
yakni benar-benar akan terjadi.
Fa lā taghurrannakumul hayātud dun-yā (oleh karena
itu, janganlah sekali-kali kalian diperdaya oleh kehidupan dunia), yakni oleh
keindahan dan kenikmatan dunia.
Wa lā yaghurrannakum billāhil gharūr (dan jangan
pula kalian diperdaya oleh si penipu dalam [menaati] Allah), yakni diperdaya
oleh setan. Menurut yang lain, jika lafzh al-gharūr dibaca al-ghurūr maka
artinya, diperdaya oleh perkara-perkara yang batil.
II.2. Ma’rifat Kepada Allah Berarti
Menemukan Kebesaran Nikmat
Ma’rifat kepada Allah adalah mengenal
atau melihat kepada allah dengan penglihtatan hati, tidak dengan penglihatan
mata.manusia diberi fitrah kepada Allah itu sejak ia dilahirkan dari kendungan
ibunya. Dari fitrah itu manusia dituntut
supaya mengenal Tuhannya, sebagai pencipta dan pelindung dirinya. Walaupun ia
sudah diberi fitrah dari Allah tapi ia tidak mendapatkan anugrah darinya tentu
ia tidak akan bisa mengenal Allah secara hakiki. Oleh sebab itu, manusia yang
tidak mendapat anugrah dari Allah, mereka akan menemui bermacam-macam pendapat
dalm mengenal Tuhannya. Seperti halnya manusia yang menuhankan dirinya sendiri,
seperti fir’an hidup di masa nabi Musa a.s.
Jika Allah telah menunjukkan kepada
hambanya dengan sebagaian sebab-sebab sehingga ia menjadi orang yang ma’rifat,
kemudian kepanya dibubukan pintu kema’rifatan sehingga ia mendapat ketenangan
yang luar biasa, dan ini adalah merupakan nikmat yang paling besar. Misalnya
yang dialami oleh nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan yang sebenarnya sebagaimana
yang tertulis dalam Al Qur’an dalam surat Al An’am ayat 75-79:
وَكَذَلِكَ
نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ
الْمُوقِنِينَ -٧٥- فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ
هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ -٧٦- فَلَمَّا رَأَى
الْقَمَرَ بَازِغاً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ
يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ -٧٧- فَلَمَّا رَأَى
الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـذَا رَبِّي هَـذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ
يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ -٧٨- إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ
لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفاً وَمَا أَنَاْ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ -٧٩-
“Dan demikianlah Kami Memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan
(Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang
yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat
sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhan-ku.” Maka ketika bintang itu
terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu
ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhan-ku.” Tetapi ketika
bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang Menciptakan langit
dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang musyrik. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah)
yang Menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Q.S. al-An’am: 75-79)
Tafsir ayat
75-79 surat al-an’am:
75. Dan demikianlah Kami Memperlihatkan
kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan (Kami Memperlihatkannya) supaya
Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin.
Wa kadzālika (dan
demikianlah), yakni seperti itulah.
Nurī ibrāhīma malakūtas samāwāti wal
ardli (Kami Memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan
bumi), yakni segala yang ada di langit dan di bumi, seperti matahari, bulan,
dan bintang tatkala keluar dari tempat persembunyiannya.
Wa li yakūna minal mūqinīn (dan [Kami
Memperlihatkannya] supaya Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin), yakni
supaya Ibrahim a.s. termasuk orang yang mengakui bahwa Allah Maha Esa, Pencipta
langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Ada yang
berpendapat, Allah Ta‘ala Memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepada
Ibrahim a.s. pada suatu malam saat ia dibawa naik ke langit, sehingga dari
langit ketujuh ia bisa melihat bumi. Wa li yakūna minal mūqinīn (dan
[Kami Memperlihatkannya] agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin) tentang
adanya bahaya.
76. Maka ketika malam telah menjadi gelap, dilihatnya
bintang, dia berkata, “Inilah tuhanku.” Namun, tatkala bintang itu tenggelam,
dia berkata, “Aku tidak menyukai yang tenggelam.”
Fa lammā janna ‘alaihil lailu (maka ketika malam telah menjadi
gelap), yakni ketika malam muncul dari persembunyiannya.
Ra-ā kaukabā (dilihatnya bintang), yakni bintang Johar .
Qāla hādzā rabbī (dia berkata, “Inilah tuhanku”), yakni inikah gerangan
tuhanku?
Fa lammā afala (namun, tatkala bintang itu tenggelam), yakni ketika
bintang itu keadaannya berubah menjadi merah lantas menghilang.
Qāla lā uhibbul āfilīn (dia berkata, “Aku tidak menyukai yang tenggelam”) dan
tidak langgeng sebagai tuhan.
77. Kemudian tatkala dia melihat bulan muncul, dia berkata,
“Inilah tuhanku.” Namun, tatkala bulan itu terbenam, dia berkata, “Sungguh jika
Rabb-ku tidak Memberi aku petunjuk, pastilah aku termasuk orang-orang yang
tersesat.”
Fa lammā ra-al qamara bāzighan (kemudian tatkala dia melihat bulan
muncul), yakni terbit.
Qāla hādzā rabbī (dia berkata, “Inilah tuhanku”), yakni inikah gerangan
tuhanku? Ini lebih besar daripada yang pertama.
Fa lammā afala (namun, tatkala bulan itu terbenam), yakni berubah dan
menghilang.
Qāla la il lam yahdinī rabbī (dia berkata, “Sungguh jika Rabb-ku
tidak Memberi aku petunjuk), yakni sekiranya Rabb-ku tidak Meneguhkan aku pada
petunjuk.
La akūnanna minal qaumidl dlāllīn (pastilah aku termasuk orang-orang
yang tersesat”) dari petunjuk.
78. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia
berkata, “Inilah tuhanku. Ini lebih besar.” Namun tatkala matahari itu
terbenam, dia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kalian persekutukan.
Fa lammā ra-asy syamsa bāzighatan (kemudian tatkala dia melihat matahari
muncul), yakni tatkala dia melihat matahari terbit dan menyinari segala
sesuatu.
Qāla hādzā rabbī (dia berkata, “Inilah tuhanku”), yakni inikah gerangan
tuhanku?
Hādzā akbaru (ini lebih besar) daripada yang pertama dan kedua.
Fa lammā afalat (namun tatkala matahari itu terbenam), yakni berubah dan
menghilang, Ibrahim a.s. berkata, “Aku tidak menyukai yang terbenam dan tidak
langgeng (dijadikan) sebagai tuhan. Sekiranya Rabb-ku tidak Memberi aku
petunjuk dan tidak meneguhkan aku pada petunjuk, lambat laun pastilah aku
termasuk orang yang tersesat dari petunjuk untuk selamanya.” Menurut satu
pendapat, ucapan qāla hādzā rabbī (dia berkata, “Inilah tuhanku), dimaksudkan
untuk mengolok-olok kaumnya, sebab mereka adalah para penyembah matahari,
bulan, dan bintang. Ibrahim a.s. bermaksud menunjukkan penolakannya terhadap
mereka, lalu mengolok-olok mereka seraya berkata, “Seperti inikah tuhan itu?”
Ketika Ibrahim a.s. – saat itu masih berumur tujuh belas tahun– keluar dari
tempat persembunyiannya serta menemui kaumnya, dia pun menatap ke arah langit
dan bumi seraya berkata, “Rabb-ku adalah yang Menciptakan semua ini.” Kemudian
Ibrahim a.s. pergi. Dan ketika dia kembali menemui kaumnya, dia melihat mereka
tengah asyik menyembah berhala mereka.
Qāla yā qaumi innī barī-um mimmā tusyrikūn (dia berkata, “Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan), yakni
berhala-berhala yang kalian persekutukan dengan Allah. Mereka berkata, “Ibrahim
a.s., kalau begitu siapa yang kamu ibadahi?” Ibrahim a.s. menjawab:
79. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada (Tuhan)
yang Menciptakan langit dan bumi sebagai orang yang cenderung kepada agama yang
benar, dan tidaklah aku termasuk orang-orang musyrik.”
Innī wajjahtu wajhiya (sesungguhnya aku menghadapkan wajahku), yakni aku
mengikhlaskan agama dan amalku.
Lil ladzī fatharas samāwāti wal ardla hanīfan (kepada [Tuhan] yang menciptakan
langit dan bumi sebagai orang yang cenderung pada agama yang benar), yakni
sebagai seorang Muslim.
Wa mā ana minal musyrikīn (dan tidaklah aku termasuk orang-orang musyrik”), yakni aku
tidak termasuk orang yang memeluk agama mereka.
Demikiahlah liku-liku Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhannya
yaitu Allah. Inilah ma’rifat Nabi Ibrahim kepada Allah yang merupakan anugrah
dariNya sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang besar dan ketenangan yang luar
biasa. Ketahuilah bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan manusia memperbanyak
amal kebaikan itu adalah agar mereka dapat mentaqarrubkan atau mendekatkan diri
kepada Allah.
Oleh sebab itu, jangan mempunyai perasaan banyaknya amal
ibadah yang ia tinggalkan disebabkan karena sakit. Padahal seharusnya bukan
begitu, bahwa dengan sakit yang dideritanya itu dia merasa dekat dengan Allah,
dan telah meninggalkan dunia dan juga cinta akhirat serta merelakan dirinya
kembali menghadap Allah. Ia menyadari bahwa Allah itu bisa berbuat apa saja
menurut kehendaknya dan telah menyadari pula bahwa dirinya itu lemah lagi hina.
Orang dinamakan ma’rifat sebnarnya
adalah orang yang merasa tidak mempunyai isyarah sama sekali, meskipun isyarah
itu keluar dari padanya. Perasaan ketiadaannya isyarah yang keluar dari padanya
itu dikarenakan penglihatannya kepada Allah itu sangat memuncak (tambah yakin)
sehingga dia menganggap bahwa selain Allah itu tidak ada. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengertian orang ma’rifat menurut kalangan orang yang awam
dapat disalahkan karena mereka menganggap bahwa orang yang ma’rifat yaitu orang
yang apabila memberi isyarah maka ia merasa menemukan Allah lebih dekat
kepadanya dari isyaratnya. Sehingga
dalam menghadapi problem seperti itu kita harus lebih jeli karena ma’rifat
adalah ilmu yang bersifat kebatinan dan bukanlah ilmu seperti halnya ilmu
biasa.
II.3. Harapan –harapan Orang yang Ma’rifat Kepada
Allah
Harapan atau tujuan orang ma’rifat,
orang-orang yang beribadah serta orang-orang yang zuhud yaitulebih tinggi
daripada harapan orang-orang biasa. Karena orang-orang yang telah disebutkan
tadi itu bersungguh-sungguh di dalam mengabdi atau menghamba kepada Allah.
Artinya mereka selalu memegang teguh adab dan sopan santun dalam menunaikan hak
kewajiban terhadap Allah seperti: sabar, syukur, menerima cobaan, dll.
Sebagai makhluk yang diciptakan
Allah dari tanah mempunyai tugas dan kewajiban kepada penciptanya, yaitu dengan
mengabdi dengan mentaati perintahNya dan meniggalkan semua laranganNya.
Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat Al Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ
إِلَّا لِيَعْبُدُونِ -٥٦-
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku.”(Q.S.
Al-Dzariyat:56)
Tafsir ayat 56 surat al-dzariyat
Wa mā khalaqtul jinna wal iηsa illā li ya‘budūn (dan tidaklah
Aku Menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku),
yakni supaya mereka taat kepada-Ku. Ini merupakan perintah khusus untuk
orang-orang yang taat kepada-Nya. Ada yang berpendapat, sekiranya Dia
Menciptakan mereka untuk beribadah, niscaya mereka tidak akan mendurhakai Rabb
mereka walapun hanya sekejap. ‘Ali bin Abi Thalib berpendapat (mengenai
penafsiran ayat di atas), “Tiadalah Aku Menciptakan mereka, melainkan agar Aku
dapat Memberi perintah dan tugas kepada mereka.” Dan menurut pendapat lainnya,
“Wa mā khalaqtul jinna wal iηsa illā li . ya‘budūn “ (dan Aku sekali-kali tidak
Menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku), yakni
melainkan Aku telah Memerintahkan kepada mereka agar bertauhid dan beribadah
kepada-Ku.
II.4. Yang Menjadi Kekhawatiran Bagi
Orang Ma’rifat
Orang –orang ma’rifat jika dalam
keadaan lapang itu lebih terasa kekhawatirannya, dari pada ia dalam keadaan
kesempitan, serta ia tidak dapat tetap dalam berdiri diatas batas-batas adab
dalam keadaan lapang kecuali sedikit. Memang kebanyakan manusia dalam keadaan
lapang itu selalu lupa daratan akan hal yang harus di ingat pada setiap saat
yaitu Allah yang memberi kelapangan itu.
BAB III
kESIMPULAN
Ma’rifat ialah mengenal atau mengetahui akan Allah dengan
cara memperhatikan segala hasil ciptaanya. Yaitu mengenal Allah dengan budi
daya, mengarahkan segala potensi akal dan batin. Dengan ma’rifat kepada Allah,
hati nurani manusia akan selalu dekat kepada Allah SAW.
Jika Allah telah menunjukkan kepada
hambanya dengan sebagaian sebab-sebab sehingga ia menjadi orang yang ma’rifat,
kemudian kepanya dibubukan pintu kema’rifatan sehingga ia mendapat ketenangan
yang luar biasa, dan ini adalah merupakan nikmat yang paling besar.
Orang dinamakan ma’rifat sebnarnya
adalah orang yang merasa tidak mempunyai isyarah sama sekali, meskipun isyarah
itu keluar dari padanya. Perasaan ketiadaannya isyarah yang keluar dari padanya
itu dikarenakan penglihatannya kepada Allah itu sangat memuncak (tambah yakin)
sehingga dia menganggap bahwa selain Allah itu tidak ada. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengertian orang ma’rifat menurut kalangan orang yang awam
dapat disalahkan karena mereka menganggap bahwa orang yang ma’rifat yaitu orang
yang apabila memberi isyarah maka ia merasa menemukan Allah lebih dekat kepadanya
dari isyaratnya. Sehingga
dalam menghadapi problem seperti itu kita harus lebih jeli karena ma’rifat
adalah ilmu yang bersifat kebatinan dan bukanlah ilmu seperti halnya ilmu
biasa.
Harapan atau tujuan orang ma’rifat, orang-orang yang
beribadah serta orang-orang yang zuhud yaitu lebih tinggi daripada harapan
orang-orang biasa. Orang –orang ma’rifat jika dalam keadaan lapang itu lebih
terasa kekhawatirannya, dari pada ia dalam keadaan kesempitan.
Daftar Pustaka
Kartanegara,
Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Erlangga, 2006)
Ahnan,
Maftuh, dkk. Kuliah Ma’rifat: mencapai hidup bahagia sepanjang masa.
(Gresik: CV. Bintang Pelajar)
Al-Misriy,
Badruttamam Basya. Tasawuf Anak Muda. (Jakarta: Pustaka Group, 2009)
0 komentar:
Posting Komentar