Pages

Minggu, 06 Desember 2015

makrifat dalam perspektif al-quran



BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Ketika kita menyebut ma’rifat sebagai pengetahuan sejati, maka ini tidak berarti bahwa seperti jenis pengetahuan yang lain, yang bisa kita sebut ‘ilm. Sedangkan ‘ilm adalah ilmu pengetahuan yang tidak benar. Kita menyebutnya pengetahuan sejati, karena ma’rifat merupakan jenis pengetahuan yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya yang menghasilkan isi dan metode yang berbeda.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan biasa, maka ma’rifat diraih secara langsung oleh sang ‘arif  dan karena itu mendatangkan kepastian bagi yang mengalaminya dan memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang yang diketahuinya itu. Misalnya saya merasa yakin bahwa bolpoin yang saya pakai menulis ini ada karena saya menyentuhnya lewat indra peraba yaitu jari-jari tangan saya. Tetapi yang disebut pengalaman langsung dalam tasawuf terjadi bukan pada indrawi tetapi pada tataran intuitif, dan objek yang dialaminya bisa jadi –bahkan kebanyakan-bersifat nonfisik. Jadi yang dimaksud pengalaman mistik adalah pengalaman langsung dari hati manusia terhadap objek-objek nonfisik.
Hal lain yang membedakan ilmu dan ma’rifat adalah bahwa ilmu dapat diperoleh dengan upaya seseorang, sedangkan ma’rifat tidak dapat dihasilkan dengan upaya seseorang. Menurut Nicholson, melalui penalaran rasionalnya yaitu “penyingkapan dan visi apokaliptik” yang kesemuanya tergantung pada kehendak dan kemurahan Tuhan yang akan mengkaruniakannya sebagai hadiah kepada mereka yang telah Dia ciptakan dengan kemampuan untuk menerimanya. Ia seperti cahaya barokah Tuhan yang membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotannya yang menyilaukan.




I.2. Rumusan Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apakah yang dimaksud dengan ma’rifat?
2.      Bagaimanakah arti ma’rifat kepada Allah yang sesungguhnya?
3.      Bagaimanakah harapan-harapan orang yang berma’rifat kepada Allah?
4.      Apakah kekhawatiran orang yang berma’rifat kepada Allah?


I.3. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1.      Agar para pembaca dapat mengetahui pengertian dari ma’rifat.
2.      Agar para pembaca dapat memahami arti ma’rifat kepada Allah yang sesungguhnya.
3.      Agar para pembaca lebih mendalami tentang ma’rifat.
4.      Agar para pembaca dapat menafsirkan ma’rifat dengan benar.
















BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Pengertian Ma’rifat

Ma’rifat ialah mengenal atau mengetahui akan Allah dengan cara memperhatikan segala hasil ciptaanya. Yaitu mengenal Allah dengan budi daya, mengarahkan segala potensi akal dan batin. Dasar yang diberikan Rasulullah SAW. Adalah sebuah hadits yang bunyinya:

“Hai Abu Dzar! Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat kepada-Nya. Bila engkau tidak melihat Allah, maka yakinkan (dalam hatimu) bahwa Allah melihat engkau.” (al-Hadist)
Dengan ma’rifat kepada Allah, hati nurani manusia akan selalu dekat kepada Allah. Timbul rasa cinta: penuh harap dan ketentraman, penuh kegembiraan yang tidak bersumber keduniawiaan. Sebab sabda Rasulullah SAW.

Artinya: “kecintaan akan dunia itu adalah pangkal dari segala dosa (kejahatan).”

Orang-orang yang berma’rifat kepada Allah sering kelihatan tidak suka pada harta kekayaan, padahal tidak. Sebab lebih jelasnya mereka takut, jangan-jangan harta dunia menyebabkan ia berpaling dari Allah SWT. Selain itu, kalau Allah memberi rizki, ditolak bagaimanapun, dihindari atau dihalang-halangi pasti pemberian itu akan sampai kealamatnya. Rizki yang sudah dekat kebibir kalau itu bukan haknya, tidak akan sampai kepadanya. Oleh karena itu mereka mantap dengan firman Allah dalam surat lukman ayat 33:

ٌ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ -٣٣
 “maka janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu terpedaya oleh penipu dalam (menaati) Allah.”




                                                    Tafsir ayat 33 surat al-lukman      

Hai manusia, bertakwalah kepada Rabb-kalian dan takutlah akan suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak akan dapat memberikan pertolongan kepada anaknya, dan tidak pula seorang anak dapat memberikan pertolongan kepada bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya Janji Allah adalah hak. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali kalian diperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan pula kalian diperdaya oleh si penipu dalam (menaati) Allah.
Yā ayyuhan nāsu (hai manusia), yakni hai penduduk Mekah!
Ittaqū rabbakum (bertakwalah kepada Rabb-kalian), yakni taatlah kepada Rabb kalian.
Wakh syau yauman (dan takutlah akan suatu hari), yakni azab pada suatu hari.
Lā yajzī wālidun (yang [pada hari itu] seorang bapak tidak akan dapat memberikan pertolongan), yakni tidak akan dapat memberi manfaat.
‘Aw wāladihī wa lā maulūdun huwa jāzin (kepada anaknya, dan tidak pula seorang anak dapat memberikan pertolongan), yakni dapat memberikan manfaat.
‘Aw walidihī syai-ā (kepada bapaknya sedikit pun), dari Azab Allah Ta‘ala.
Inna wa‘dallāhi (sesungguhnya Janji Allah), yakni kebangkitan sesudah mati.
Haqqun (adalah hak), yakni benar-benar akan terjadi.
Fa lā taghurrannakumul hayātud dun-yā (oleh karena itu, janganlah sekali-kali kalian diperdaya oleh kehidupan dunia), yakni oleh keindahan dan kenikmatan dunia.
Wa lā yaghurrannakum billāhil gharūr (dan jangan pula kalian diperdaya oleh si penipu dalam [menaati] Allah), yakni diperdaya oleh setan. Menurut yang lain, jika lafzh al-gharūr dibaca al-ghurūr maka artinya, diperdaya oleh perkara-perkara yang batil.

II.2. Ma’rifat Kepada Allah Berarti Menemukan Kebesaran Nikmat

Ma’rifat kepada Allah adalah mengenal atau melihat kepada allah dengan penglihtatan hati, tidak dengan penglihatan mata.manusia diberi fitrah kepada Allah itu sejak ia dilahirkan dari kendungan ibunya. Dari fitrah itu manusia dituntut supaya mengenal Tuhannya, sebagai pencipta dan pelindung dirinya. Walaupun ia sudah diberi fitrah dari Allah tapi ia tidak mendapatkan anugrah darinya tentu ia tidak akan bisa mengenal Allah secara hakiki. Oleh sebab itu, manusia yang tidak mendapat anugrah dari Allah, mereka akan menemui bermacam-macam pendapat dalm mengenal Tuhannya. Seperti halnya manusia yang menuhankan dirinya sendiri, seperti fir’an hidup di masa nabi Musa a.s.

Jika Allah telah menunjukkan kepada hambanya dengan sebagaian sebab-sebab sehingga ia menjadi orang yang ma’rifat, kemudian kepanya dibubukan pintu kema’rifatan sehingga ia mendapat ketenangan yang luar biasa, dan ini adalah merupakan nikmat yang paling besar. Misalnya yang dialami oleh nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan yang sebenarnya sebagaimana yang tertulis dalam Al Qur’an dalam surat Al An’am ayat 75-79:

وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ -٧٥- فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَباً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ -٧٦- فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغاً قَالَ هَـذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِي رَبِّي لأكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ -٧٧- فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَـذَا رَبِّي هَـذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ -٧٨- إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفاً وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ -٧٩-

Dan demikianlah Kami Memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhan-ku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhan-ku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang Menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang Menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Q.S. al-An’am: 75-79)

Tafsir ayat 75-79 surat al-an’am:
75. Dan demikianlah Kami Memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, dan (Kami Memperlihatkannya) supaya Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin.
Wa kadzālika (dan demikianlah), yakni seperti itulah.
Nurī ibrāhīma malakūtas samāwāti wal ardli (Kami Memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi), yakni segala yang ada di langit dan di bumi, seperti matahari, bulan, dan bintang tatkala keluar dari tempat persembunyiannya.
Wa li yakūna minal mūqinīn (dan [Kami Memperlihatkannya] supaya Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin), yakni supaya Ibrahim a.s. termasuk orang yang mengakui bahwa Allah Maha Esa, Pencipta langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya. Ada yang berpendapat, Allah Ta‘ala Memperlihatkan kerajaan langit dan bumi kepada Ibrahim a.s. pada suatu malam saat ia dibawa naik ke langit, sehingga dari langit ketujuh ia bisa melihat bumi. Wa li yakūna minal mūqinīn (dan [Kami Memperlihatkannya] agar Ibrahim termasuk orang-orang yang yakin) tentang adanya bahaya.
76. Maka ketika malam telah menjadi gelap, dilihatnya bintang, dia berkata, “Inilah tuhanku.” Namun, tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, “Aku tidak menyukai yang tenggelam.”
Fa lammā janna ‘alaihil lailu (maka ketika malam telah menjadi gelap), yakni ketika malam muncul dari persembunyiannya.
Ra-ā kaukabā (dilihatnya bintang), yakni bintang Johar .
Qāla hādzā rabbī (dia berkata, “Inilah tuhanku”), yakni inikah gerangan tuhanku?
Fa lammā afala (namun, tatkala bintang itu tenggelam), yakni ketika bintang itu keadaannya berubah menjadi merah lantas menghilang.
Qāla lā uhibbul āfilīn (dia berkata, “Aku tidak menyukai yang tenggelam”) dan tidak langgeng sebagai tuhan.
77. Kemudian tatkala dia melihat bulan muncul, dia berkata, “Inilah tuhanku.” Namun, tatkala bulan itu terbenam, dia berkata, “Sungguh jika Rabb-ku tidak Memberi aku petunjuk, pastilah aku termasuk orang-orang yang tersesat.”
Fa lammā ra-al qamara bāzighan (kemudian tatkala dia melihat bulan muncul), yakni terbit.
Qāla hādzā rabbī (dia berkata, “Inilah tuhanku”), yakni inikah gerangan tuhanku? Ini lebih besar daripada yang pertama.
Fa lammā afala (namun, tatkala bulan itu terbenam), yakni berubah dan menghilang.
Qāla la il lam yahdinī rabbī (dia berkata, “Sungguh jika Rabb-ku tidak Memberi aku petunjuk), yakni sekiranya Rabb-ku tidak Meneguhkan aku pada petunjuk.
La akūnanna minal qaumidl dlāllīn (pastilah aku termasuk orang-orang yang tersesat”) dari petunjuk.
78. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah tuhanku. Ini lebih besar.” Namun tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan.
Fa lammā ra-asy syamsa bāzighatan (kemudian tatkala dia melihat matahari muncul), yakni tatkala dia melihat matahari terbit dan menyinari segala sesuatu.
Qāla hādzā rabbī (dia berkata, “Inilah tuhanku”), yakni inikah gerangan tuhanku?
Hādzā akbaru (ini lebih besar) daripada yang pertama dan kedua.
Fa lammā afalat (namun tatkala matahari itu terbenam), yakni berubah dan menghilang, Ibrahim a.s. berkata, “Aku tidak menyukai yang terbenam dan tidak langgeng (dijadikan) sebagai tuhan. Sekiranya Rabb-ku tidak Memberi aku petunjuk dan tidak meneguhkan aku pada petunjuk, lambat laun pastilah aku termasuk orang yang tersesat dari petunjuk untuk selamanya.” Menurut satu pendapat, ucapan qāla hādzā rabbī (dia berkata, “Inilah tuhanku), dimaksudkan untuk mengolok-olok kaumnya, sebab mereka adalah para penyembah matahari, bulan, dan bintang. Ibrahim a.s. bermaksud menunjukkan penolakannya terhadap mereka, lalu mengolok-olok mereka seraya berkata, “Seperti inikah tuhan itu?” Ketika Ibrahim a.s. – saat itu masih berumur tujuh belas tahun– keluar dari tempat persembunyiannya serta menemui kaumnya, dia pun menatap ke arah langit dan bumi seraya berkata, “Rabb-ku adalah yang Menciptakan semua ini.” Kemudian Ibrahim a.s. pergi. Dan ketika dia kembali menemui kaumnya, dia melihat mereka tengah asyik menyembah berhala mereka.
Qāla yā qaumi innī barī-um mimmā tusyrikūn (dia berkata, “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan), yakni berhala-berhala yang kalian persekutukan dengan Allah. Mereka berkata, “Ibrahim a.s., kalau begitu siapa yang kamu ibadahi?” Ibrahim a.s. menjawab:
79. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada (Tuhan) yang Menciptakan langit dan bumi sebagai orang yang cenderung kepada agama yang benar, dan tidaklah aku termasuk orang-orang musyrik.”
Innī wajjahtu wajhiya (sesungguhnya aku menghadapkan wajahku), yakni aku mengikhlaskan agama dan amalku.
Lil ladzī fatharas samāwāti wal ardla hanīfan (kepada [Tuhan] yang menciptakan langit dan bumi sebagai orang yang cenderung pada agama yang benar), yakni sebagai seorang Muslim.
Wa mā ana minal musyrikīn (dan tidaklah aku termasuk orang-orang musyrik”), yakni aku tidak termasuk orang yang memeluk agama mereka.
Demikiahlah liku-liku Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhannya yaitu Allah. Inilah ma’rifat Nabi Ibrahim kepada Allah yang merupakan anugrah dariNya sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang besar dan ketenangan yang luar biasa. Ketahuilah bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan manusia memperbanyak amal kebaikan itu adalah agar mereka dapat mentaqarrubkan atau mendekatkan diri kepada Allah.

Oleh sebab itu, jangan mempunyai perasaan banyaknya amal ibadah yang ia tinggalkan disebabkan karena sakit. Padahal seharusnya bukan begitu, bahwa dengan sakit yang dideritanya itu dia merasa dekat dengan Allah, dan telah meninggalkan dunia dan juga cinta akhirat serta merelakan dirinya kembali menghadap Allah. Ia menyadari bahwa Allah itu bisa berbuat apa saja menurut kehendaknya dan telah menyadari pula bahwa dirinya itu lemah lagi hina.

Orang dinamakan ma’rifat sebnarnya adalah orang yang merasa tidak mempunyai isyarah sama sekali, meskipun isyarah itu keluar dari padanya. Perasaan ketiadaannya isyarah yang keluar dari padanya itu dikarenakan penglihatannya kepada Allah itu sangat memuncak (tambah yakin) sehingga dia menganggap bahwa selain Allah itu tidak ada. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian orang ma’rifat menurut kalangan orang yang awam dapat disalahkan karena mereka menganggap bahwa orang yang ma’rifat yaitu orang yang apabila memberi isyarah maka ia merasa menemukan Allah lebih dekat kepadanya dari isyaratnya. Sehingga dalam menghadapi problem seperti itu kita harus lebih jeli karena ma’rifat adalah ilmu yang bersifat kebatinan dan bukanlah ilmu seperti halnya ilmu biasa.
                                                                                                                                

II.3.  Harapan –harapan Orang yang Ma’rifat Kepada Allah

            Harapan atau tujuan orang ma’rifat, orang-orang yang beribadah serta orang-orang yang zuhud yaitulebih tinggi daripada harapan orang-orang biasa. Karena orang-orang yang telah disebutkan tadi itu bersungguh-sungguh di dalam mengabdi atau menghamba kepada Allah. Artinya mereka selalu memegang teguh adab dan sopan santun dalam menunaikan hak kewajiban terhadap Allah seperti: sabar, syukur, menerima cobaan, dll.

            Sebagai makhluk yang diciptakan Allah dari tanah mempunyai tugas dan kewajiban kepada penciptanya, yaitu dengan mengabdi dengan mentaati perintahNya dan meniggalkan semua laranganNya. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam surat Al Dzariyat ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ -٥٦-
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”(Q.S. Al-Dzariyat:56)
Tafsir ayat 56 surat al-dzariyat
Wa mā khalaqtul jinna wal iηsa illā li ya‘budūn (dan tidaklah Aku Menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku), yakni supaya mereka taat kepada-Ku. Ini merupakan perintah khusus untuk orang-orang yang taat kepada-Nya. Ada yang berpendapat, sekiranya Dia Menciptakan mereka untuk beribadah, niscaya mereka tidak akan mendurhakai Rabb mereka walapun hanya sekejap. ‘Ali bin Abi Thalib berpendapat (mengenai penafsiran ayat di atas), “Tiadalah Aku Menciptakan mereka, melainkan agar Aku dapat Memberi perintah dan tugas kepada mereka.” Dan menurut pendapat lainnya, “Wa mā khalaqtul jinna wal iηsa illā li . ya‘budūn “ (dan Aku sekali-kali tidak Menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku), yakni melainkan Aku telah Memerintahkan kepada mereka agar bertauhid dan beribadah kepada-Ku.

II.4. Yang Menjadi Kekhawatiran Bagi Orang Ma’rifat

            Orang –orang ma’rifat jika dalam keadaan lapang itu lebih terasa kekhawatirannya, dari pada ia dalam keadaan kesempitan, serta ia tidak dapat tetap dalam berdiri diatas batas-batas adab dalam keadaan lapang kecuali sedikit. Memang kebanyakan manusia dalam keadaan lapang itu selalu lupa daratan akan hal yang harus di ingat pada setiap saat yaitu Allah yang memberi kelapangan itu. 









BAB III

kESIMPULAN

Ma’rifat ialah mengenal atau mengetahui akan Allah dengan cara memperhatikan segala hasil ciptaanya. Yaitu mengenal Allah dengan budi daya, mengarahkan segala potensi akal dan batin. Dengan ma’rifat kepada Allah, hati nurani manusia akan selalu dekat kepada Allah SAW.

Jika Allah telah menunjukkan kepada hambanya dengan sebagaian sebab-sebab sehingga ia menjadi orang yang ma’rifat, kemudian kepanya dibubukan pintu kema’rifatan sehingga ia mendapat ketenangan yang luar biasa, dan ini adalah merupakan nikmat yang paling besar.

Orang dinamakan ma’rifat sebnarnya adalah orang yang merasa tidak mempunyai isyarah sama sekali, meskipun isyarah itu keluar dari padanya. Perasaan ketiadaannya isyarah yang keluar dari padanya itu dikarenakan penglihatannya kepada Allah itu sangat memuncak (tambah yakin) sehingga dia menganggap bahwa selain Allah itu tidak ada. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian orang ma’rifat menurut kalangan orang yang awam dapat disalahkan karena mereka menganggap bahwa orang yang ma’rifat yaitu orang yang apabila memberi isyarah maka ia merasa menemukan Allah lebih dekat kepadanya dari isyaratnya. Sehingga dalam menghadapi problem seperti itu kita harus lebih jeli karena ma’rifat adalah ilmu yang bersifat kebatinan dan bukanlah ilmu seperti halnya ilmu biasa.

Harapan atau tujuan orang ma’rifat, orang-orang yang beribadah serta orang-orang yang zuhud yaitu lebih tinggi daripada harapan orang-orang biasa. Orang –orang ma’rifat jika dalam keadaan lapang itu lebih terasa kekhawatirannya, dari pada ia dalam keadaan kesempitan.






Daftar Pustaka
Kartanegara, Mulyadhi. Menyelami Lubuk Tasawuf. (Jakarta: Erlangga, 2006)
Ahnan, Maftuh, dkk. Kuliah Ma’rifat: mencapai hidup bahagia sepanjang masa. (Gresik: CV. Bintang Pelajar)
Al-Misriy, Badruttamam Basya. Tasawuf Anak Muda. (Jakarta: Pustaka Group, 2009)


0 komentar:

Posting Komentar