Pages

Minggu, 06 Desember 2015

pluralisme agama



      

  A.    Latar Belakang
Akhir-akhir ini kita sering mendengar yang namanya pluralisme tapi, tidak banyak yang mengerti apa itu pluralisme? Pemahaman tentang pluralisme dikalangan tokoh-tokoh berbeda-beda. Secara umum pluralisme agama memandang bahwa agama yang dianut bukanlah satu-satunya kebenaran dan sumber benar. Sehingga seseorang harus mengakui bahwa diagama lainpun juga mengajarkan kebenaran. Pluralisme ini dapat menjadi jembatan penghubung antar pemeluk berbagai agama agar hidup berdampingan. Walaupun begitu tidak dipungkiri bahwa untuk mengakui, bahwa agama lain juga mengajarkan kebenaran adalah hal yang sulit dilakukan. Sehingga banyak pihak yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya saja.
Apabila antar umat beragama mengakui adanya kebebasan beragama maka akan tercipta hubungan yang harmonis.
A.    Sejarah pluralisme
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlainan pula sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. Pluralisme dianggap sebagai bentuk penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran (Truth Claim) yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalam agama-agama. Pluralisme, awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari liberalisme politik (political liberalism). Saat itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa sekte Kristen masih mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja. Hal itu misalnya dialami sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodoks. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908). Ada pula doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan". Ini tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an, yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen. Jadi, gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism. Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher. Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Muncul tokoh gigih, seperti teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul "Posisi Agama Kristen di antara Agama-agama Dunia" yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal. Ada lagi William E Hocking. Gagasannya ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global. Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), alam karyanya An Historian's Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku Towards A World Theology (1981), Smith mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967). Dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangan. Kemudian menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran, kalau bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan pluralisme agama ini. Dalam kerangka teoritis, pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer. Hick menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun 1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya sebelumnya. Ternyata, fenomena yang murni Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan reformasi Protestan secara khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang Protestan hingga akhir abad ke-19. Sedangkan Kristen Katolik cenderung tidak menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan", hingga akhirnya Konsili Vatikan II berlangsung.[1]

B.     Pengertian Pluralisme
Kata Pluralism berasal dari bahasa latin Plures yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Pluralisme adalah pandangan filosofis yang yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip terakhir, tetapi menerima apa adanya keragaman. Terhadap pengertian yang bisa dengan relativisme ini, tentu orang yang beragama tidak dapat menerima sepenuhnya. Oleh karena itu pemahaman yang berbeda terhadap ide pluralisme akan selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh agama.
Nurcholish Madjid memaknai pluralisme sebagai suatu system nilai memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.[2]
Pluralisme agama dapat digunakan untuk mendeskripsikan cara pandang bahwa agama yang dianut seseorang bukan merupakan satu-satunya kebenaran dan sumber kebenaran. Oleh karena itu orang harus mengakui bahwa kebenaran juga diajarkan oleh agama-agama lain, atau bahwa agama di luar yang dianutnya juga mengajarkan kebenaran.
Pluralisme agama sering dipandang sebagai sinonim dari ekumenisme, atau minimal mendorong upaya-upaya untuk mewujudkan persatuan, kerjasama, atau meningkatkan saling pengertian di antara pemeluk berbagai agama yang berbeda, atau menciptakan kerukunan di antara berbagai penganut aliran-aliran yang ada dalam satu agama.
Pluralisme agama juga dipandang sebagai sinonim dari toleransi keagamaan yang merupakan syarat bagi terciptanya koeksistensi yang harmonis dan damai di antara pemeluk agama yang berbeda-beda, atau berbagai aliran dalam suatu agama. Pluralisme agama juga diartikan sebagai ‘dialog antar-iman’ yang merujuk pada terwujudnya dialog di antara penganut agama yang berbeda-beda, guna kurangi potensi konflik demi terwujudnya tujuan bersama. Namun harus diakui bahwa dialog antar-iman itu sulit diwujudkan jika pihak yang terlibat hanya mengambil posisi ‘partikularisme,’ yaitu jika masing-masing pihak hanya peduli dengan kepentingan kelompok sendiri.
Sebaliknya, ia akan berkembang baik jika masing-masing pihak mengambil sikap ‘universalisme,’ di mana kepedulian terhadap pihak luar lebih ditonjolkan. Oleh karena itu dialog antar-iman akan lebih mudah terwujud jika para penganut agama yang berbeda itu memiliki kesadaran inklusifisme, yaitu suatu keyakinan bahwa orang yang menganut agama berbeda juga berhak mendapatkan jalan keselamatannya sendiri, meskipun keselamatan yang sepenuhnya hanya dapat dicapai melalui agama yang diyakininya saja.
Penganut pluralisme agama mengakui bahwa setiap agama memiliki truth claim yang berbeda-beda. Orang Kristen percaya bahwa Jesus adalah inkarnasi Tuhan dan bahwa ia mati untuk keselamatan umat manusia, sedangkan penganut Buda percaya bahwa pencerahan telah membebaskan jiwa manusia dari siklus kelahiran kembali sehingga ia bisa masuk ke nirwana. Orang Kristen tidak mengklaim bahwa Kristus akan membimbing manusia ke nirwana, dan sebaliknya, penganut Buda tidak mengklaim bahwa Buda Gautama adalah anak Tuhan. Karena itulah pluralisme agama harus dapat mengatasi berbagai perbedaan atau konflik yang sewaktu-waktu muncul dalam tradisi keagamaan yang beranekaragam. Pluralisme agama harus dikembangkan atas dasar kesadaran non-literal dari pandangan keagamaan penganutnya, sehingga Mampu mendorong kesediaan penganut agama untuk saling menghormati pokok-pokok keyakinan dasar yang terdapat dalam suatu agama, dan tidak mencari-cari perbedaan dalam hal-hal kecil, guna menemukan kesamaan atau titik temu yang dapat dicapai di antara berbagai faham keagamaan tersebut.[3]

C.     Syarat bagi terciptanya pluralisme agama
Pluralisme agama akan memberi makna yang bermanfaat bagi upaya menciptakan kehidupn yang harmonis di antara para penganut agama yang berbeda-beda jika msing-masing kelompok umat beragama mengakui adanya kebebasan beragama. Kebebasan beragama mencakup seluruh agama-agama yang tidak dalam suatu sistim hukum dalam suatu agama tertentu, baik ia mau ataupun tidak untuk menerima kenyataan bahwa agama lain itu sah adanya atau kebebasan memilih agama dan pluralitas agama secara umum itu adalah baik. Agama-agama eksklusif mengajarkan bahwa hanya agama merekalah satu-satunya jalan menuju keselamatan dan memperoleh kebenaran. Sebagian dari mereka bahkan beranggapan perlunya meluruskan berbagai kekeliruan yang diajarkan oleh agama-agama lain. Sebagai contoh, para pengikut sekte protestan tertentu akan menentang keras ajaran gereja katholik Roma.
Banyak penganut agama percaya bahwa pluralisme agama harus diwujudkan bukan dalam bentuk persaingan tetapi kerjasama, dan berpandangan bahwa perubahan-perubahan social dan teologis diperlukan guna mengatasi berbagai perbedaan yang terdapat dalam satu agama-agama tersebut serta konflik-konflik internal kelompok dalam satu yang sama. Dalam kebanyakan tradisi keagamaan, sikap seperti itu secara esensial didasarkan pada suatu pandangan non-literal dalam tradisi keagamaan seseorang, sehingga memungkinkan bagi munculnya rasa hormat di antara penganut agama yang berbeda-beda berdasarkan prinsip-prisip yang mendasar, ketimbang persoalan-persoalan kecil atau sampingan. Dapat disimpulkan sebagai suatu sikap yang menolak adanya pemusatan perhatian pada hal-hal yang bersifat immaterial, dan mengarahkannya pada upaya menghormati adanya keyakinan yang dianut secara umum.
Eksistensi pluralisme agama mempersyaratkan adanya kebebasan beragama. Kebebasan beragama akan muncul ketika berbagai agama yang berbeda-beda di suatu wilayah memperoleh kesamaan hak untuk secara terbuka menjalankan praktik ritual dan mengekpresikan symbol-simbol keagamaannya. Sebaliknya, kebebasan beragama akan melemah dan terhambat manakala salah satu agama mendapat perlakuan istimewa dari agama yang lain, seperti yang terjadi di sebagian Negara Eropa di mana agama Katholik Roma atau sekte Protestan tertentu memiliki status istimewa. Kebebasan beragama juga tidak dapat berkembang di Negara-negara komunis, seperti Albania dan Uni Soviet pada era Stalin, dimana Negara secara tegas melarang penduduknya untuk menjalankan kegiatan keagamaan, bahkan menghukum para penganut agama tersebut. Situasi seperti ini masih terus berlangsung di korea utara dan sebagian China dan Vietnam.[4]

D.    Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Pluralisme Agama   
1.      Faktor Internal
Faktor internal disini yaitu mengenai masalah teologis. Keyakinan seseorang yang mutlak dan absolut terhadap apa yang diyakini dan diimaninya merupakan hal yang wajar. Sikap absolutisme agama tak ada yang mempertantangkannya hingga muncul teori tentang relativisme agama. Pemikiran relativisme ini merupakan sebuah sikap pluralisme terhadap agama.
2.      Faktor Eksternal
a.       Faktor Sosio-Politik
Faktor ini berhubungan dengan munculnya pemikiran mengenai masalah liberalisme yang menyuarakan kebebasan, toleransi, kesamaan, dan pluralisme. Liberalisme inilah yang menjadi cikal bakal pluralisme. Pada awalnya liberalisme hanya menyangkut mengenai masalah politik belaka, namun pada akhirnya menyangkut masalah keagamaan juga. Politik liberal atau proses demokratisasi telah menciptakan perubahan yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan pandangan manusia terhadapa agama secara umum. Sehingga dari sikap ini timbullah pluralisme agama.
Situasi politik global yang kita alami saat ini menjelaskan kepada kita secara gamblang tentang betapa dominannya kepentingan politik ekonomi barat terhadap dunia secara umum. Dari sinilah terlihat jelas hakikat tujuan yang sebenarnya sikap ngotot barat untuk memonopoli tafsir tunggal mereka tentang demokrasi. Maka pluralisme agama yang diciptakan hanya merupakan salah satu instrumen politik global untuk menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan lain yang akan menghalanginya.
b.        Faktor Keilmuan
Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan munculnya pluralisme. Namun yang berkaitan langsung dengan pembahasan ini adalah maraknya studi-studi illmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering dikenal dengan perbandingan agama. Diantara temuan dan kesimpulan penting yang telah dicapai adalah bahwa agama-agama di dunia hanyalah merupakan ekspresi atau manifestasi yang beragam dari suatu hakikat metafisik yang absolut dan tunggal, dengan kata lain semua agama adalah sama.[5]

E.    Kesimpulan
Pluralisme awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Saat itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa sekte Kristen masih mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908). Ada pula doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan". Ini tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an, yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen.
Pluralisme merupakan upaya untuk mewujudkan persatuan, kerjasama, atau meningkatkan saling pengertian diantara pemeluk agama yang berbeda-beda, untuk menciptakan kerukunan beragama sehingga tidak akan terjadi konflik-konflik antara agama satu dengan agama lainnya. Syarat agar tidak terjadinya konflik antar agama tidak memberikan hak istimewa kepada salah satu agama saja, melainkan memberi hak yang sama.
Proses yang mempengaruhi terjadinya atau timbulnya pluralisme agama ada dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mengenai masalah teologi. Sedangkan faktor eksternal mengenai sosiol-politik dan keilmuan.

Daftar Pustaka
Fatih, Tanuri Abu. Konsep Pluralisme Agama Sebuah Tujuan, http://www.rumahmakalah.com, Maret 2015 diakses tanggal 20 November 2015, pukul 11.51
Hadi, Usman. Islam dan Pluralisme. http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id. diakses tanggal 20 November 2015. pukul 07.48.
Huda, M. Dimyati. Pluralisme Dalam Beragama. Kediri: STAIN Kediri Press. 2009
Saleh, Fauzan. Kajian Filsafat Tentang Keberadaan Tuhan dan Pluralisme Agama. Kediri: STAIN Ke


[1]Tanuri Abu Fatih, Konsep Pluralisme Agama Sebuah Tujuan,   http://www.rumahmakalah.com, Maret 2015  diakses tanggal 20 November 2015, pukul 11.51
[2] M. Dimyati Huda, Pluralisme Dalam Beragama, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), h. 20
[3] Fauzan Saleh, Kajian Filsafat Tentang Keberadaan Tuhan dan Pluralisme Agama, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2011), h. 173-174
[4] Ibid, 176-177
[5]Usman Hadi, Islam dan Pluralisme Agama, http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id, Mei 2012 , diakses tanggal 20 November 2015, pukul 07.48

0 komentar:

Posting Komentar