A. Latar
Belakang
Akhir-akhir ini kita sering mendengar yang namanya
pluralisme tapi, tidak banyak yang mengerti apa itu pluralisme? Pemahaman
tentang pluralisme dikalangan tokoh-tokoh berbeda-beda. Secara umum pluralisme agama
memandang bahwa agama yang dianut bukanlah satu-satunya kebenaran dan sumber
benar. Sehingga seseorang harus mengakui bahwa diagama lainpun juga mengajarkan
kebenaran. Pluralisme ini dapat menjadi jembatan penghubung antar pemeluk
berbagai agama agar hidup berdampingan. Walaupun begitu tidak dipungkiri bahwa
untuk mengakui, bahwa agama lain juga mengajarkan kebenaran adalah hal yang
sulit dilakukan. Sehingga banyak pihak yang hanya mementingkan kepentingan
kelompoknya saja.
Apabila antar umat beragama mengakui adanya
kebebasan beragama maka akan tercipta hubungan yang harmonis.
A. Sejarah
pluralisme
Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai
makna yang luas, berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda,
dan dipergunakan dalam cara yang berlainan pula sebagai pandangan dunia yang
menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif
bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat
ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.
Pluralisme dianggap sebagai bentuk penerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih
agama yang sama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran (Truth Claim) yang
eksklusif sama-sama sahih. Pendapat ini seringkali menekankan aspek-aspek
bersama yang terdapat dalam agama-agama. Pluralisme, awalnya muncul sebagai
mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari
rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa
dan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri
muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang
merupakan produk dari liberalisme politik (political liberalism). Saat itu,
hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat
secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa
sekte Kristen masih mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja. Hal itu
misalnya dialami sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena
dianggap gerakan heterodoks. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir abad
kesembilan belas, ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat,
Grover Cleveland (1837-1908). Ada pula doktrin "di luar gereja tidak ada
keselamatan". Ini tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga
dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an, yang
mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain
Kristen. Jadi, gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan
landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran
dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan
reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja
Kristen pada abad ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal
Protestantism. Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher. Memasuki abad ke-20,
gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan
teologi Barat. Muncul tokoh gigih, seperti teolog Kristen liberal Ernst
Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul "Posisi Agama
Kristen di antara Agama-agama Dunia" yang disampaikan dalam sebuah kuliah
di Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama
secara argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu
mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran
mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal. Ada lagi
William E Hocking. Gagasannya ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan
Living Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan
munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep
pemerintahan global. Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama,
Arnold Toynbee (1889-1975), alam karyanya An Historian's Approach to Religion
(1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga teolog dan sejarawan
agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku Towards A World Theology
(1981), Smith mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal
atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam
berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya
tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya
sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious
Truth (1967). Dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah
mencapai fase kematangan. Kemudian menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri
pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga
mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai
penjabaran, kalau bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan
pluralisme agama ini. Dalam kerangka teoritis, pluralisme agama pada masa ini
telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya
lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick telah
merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa,
sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer. Hick menuangkan
pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun 1986-1987,
yang merupakan rangkuman dari karya-karya sebelumnya. Ternyata, fenomena yang
murni Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan reformasi Protestan
secara khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang Protestan hingga
akhir abad ke-19. Sedangkan Kristen Katolik cenderung tidak menerima gagasan
pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin "di luar gereja
tidak ada keselamatan", hingga akhirnya Konsili Vatikan II berlangsung.[1]
B. Pengertian
Pluralisme
Kata Pluralism berasal dari bahasa latin Plures
yang berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Pluralisme adalah pandangan
filosofis yang yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip
terakhir, tetapi menerima apa adanya keragaman. Terhadap pengertian yang bisa
dengan relativisme ini, tentu orang yang beragama tidak dapat menerima
sepenuhnya. Oleh karena itu pemahaman yang berbeda terhadap ide pluralisme akan
selalu terjadi di kalangan tokoh-tokoh agama.
Nurcholish Madjid memaknai pluralisme sebagai suatu
system nilai memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan
menerimanya sebagai sebuah kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan
kenyataan itu.[2]
Pluralisme agama dapat digunakan untuk
mendeskripsikan cara pandang bahwa agama yang dianut seseorang bukan merupakan
satu-satunya kebenaran dan sumber kebenaran. Oleh karena itu orang harus
mengakui bahwa kebenaran juga diajarkan oleh agama-agama lain, atau bahwa agama
di luar yang dianutnya juga mengajarkan kebenaran.
Pluralisme agama sering dipandang sebagai sinonim
dari ekumenisme, atau minimal mendorong upaya-upaya untuk mewujudkan persatuan,
kerjasama, atau meningkatkan saling pengertian di antara pemeluk berbagai agama
yang berbeda, atau menciptakan kerukunan di antara berbagai penganut
aliran-aliran yang ada dalam satu agama.
Pluralisme agama juga dipandang sebagai sinonim dari
toleransi keagamaan yang merupakan syarat bagi terciptanya koeksistensi yang
harmonis dan damai di antara pemeluk agama yang berbeda-beda, atau berbagai
aliran dalam suatu agama. Pluralisme agama juga diartikan sebagai ‘dialog
antar-iman’ yang merujuk pada terwujudnya dialog di antara penganut agama yang
berbeda-beda, guna kurangi potensi konflik demi terwujudnya tujuan bersama.
Namun
harus diakui bahwa dialog antar-iman itu sulit diwujudkan jika pihak yang
terlibat hanya mengambil posisi ‘partikularisme,’ yaitu jika masing-masing
pihak hanya peduli dengan kepentingan kelompok sendiri.
Sebaliknya, ia akan berkembang baik jika
masing-masing pihak mengambil sikap ‘universalisme,’ di mana kepedulian
terhadap pihak luar lebih ditonjolkan. Oleh karena itu dialog antar-iman akan
lebih mudah terwujud jika para penganut agama yang berbeda itu memiliki
kesadaran inklusifisme, yaitu suatu keyakinan bahwa orang yang menganut agama
berbeda juga berhak mendapatkan jalan keselamatannya sendiri, meskipun
keselamatan yang sepenuhnya hanya dapat dicapai melalui agama yang diyakininya
saja.
Penganut pluralisme agama mengakui bahwa setiap
agama memiliki truth claim yang berbeda-beda. Orang Kristen percaya bahwa Jesus
adalah inkarnasi Tuhan dan bahwa ia mati untuk keselamatan umat manusia,
sedangkan penganut Buda percaya bahwa pencerahan telah membebaskan jiwa manusia
dari siklus kelahiran kembali sehingga ia bisa masuk ke nirwana. Orang Kristen
tidak mengklaim bahwa Kristus akan membimbing manusia ke nirwana, dan
sebaliknya, penganut Buda tidak mengklaim bahwa Buda Gautama adalah anak Tuhan.
Karena itulah pluralisme agama harus dapat mengatasi berbagai perbedaan atau
konflik yang sewaktu-waktu muncul dalam tradisi keagamaan yang beranekaragam. Pluralisme
agama harus dikembangkan atas dasar kesadaran non-literal dari pandangan keagamaan
penganutnya, sehingga Mampu mendorong kesediaan penganut agama untuk saling
menghormati pokok-pokok keyakinan dasar yang terdapat dalam suatu agama, dan tidak
mencari-cari perbedaan dalam hal-hal kecil, guna menemukan kesamaan atau titik
temu yang dapat dicapai di antara berbagai faham keagamaan tersebut.[3]
C. Syarat
bagi terciptanya pluralisme agama
Pluralisme agama akan memberi makna yang bermanfaat
bagi upaya menciptakan kehidupn yang harmonis di antara para penganut agama
yang berbeda-beda jika msing-masing kelompok umat beragama mengakui adanya
kebebasan beragama. Kebebasan beragama mencakup seluruh agama-agama yang tidak
dalam suatu sistim hukum dalam suatu agama tertentu, baik ia mau ataupun tidak
untuk menerima kenyataan bahwa agama lain itu sah adanya atau kebebasan memilih
agama dan pluralitas agama secara umum itu adalah baik. Agama-agama eksklusif
mengajarkan bahwa hanya agama merekalah satu-satunya jalan menuju keselamatan
dan memperoleh kebenaran. Sebagian dari mereka bahkan beranggapan perlunya
meluruskan berbagai kekeliruan yang diajarkan oleh agama-agama lain. Sebagai
contoh, para pengikut sekte protestan tertentu akan menentang keras ajaran
gereja katholik Roma.
Banyak penganut agama percaya bahwa pluralisme agama
harus diwujudkan bukan dalam bentuk persaingan tetapi kerjasama, dan
berpandangan bahwa perubahan-perubahan social dan teologis diperlukan guna
mengatasi berbagai perbedaan yang terdapat dalam satu agama-agama tersebut
serta konflik-konflik internal kelompok dalam satu yang sama. Dalam kebanyakan
tradisi keagamaan, sikap seperti itu secara esensial didasarkan pada suatu
pandangan non-literal dalam tradisi keagamaan seseorang, sehingga memungkinkan
bagi munculnya rasa hormat di antara penganut agama yang berbeda-beda
berdasarkan prinsip-prisip yang mendasar, ketimbang persoalan-persoalan kecil
atau sampingan. Dapat disimpulkan sebagai suatu sikap yang menolak adanya
pemusatan perhatian pada hal-hal yang bersifat immaterial, dan mengarahkannya
pada upaya menghormati adanya keyakinan yang dianut secara umum.
Eksistensi pluralisme agama mempersyaratkan adanya
kebebasan beragama. Kebebasan beragama akan muncul ketika berbagai agama yang berbeda-beda
di suatu wilayah memperoleh kesamaan hak untuk secara terbuka menjalankan
praktik ritual dan mengekpresikan symbol-simbol keagamaannya. Sebaliknya,
kebebasan beragama akan melemah dan terhambat manakala salah satu agama
mendapat perlakuan istimewa dari agama yang lain, seperti yang terjadi di
sebagian Negara Eropa di mana agama Katholik Roma atau sekte Protestan tertentu
memiliki status istimewa. Kebebasan beragama juga tidak dapat berkembang di
Negara-negara komunis, seperti Albania dan Uni Soviet pada era Stalin, dimana
Negara secara tegas melarang penduduknya untuk menjalankan kegiatan keagamaan,
bahkan menghukum para penganut agama tersebut. Situasi seperti ini masih terus
berlangsung di korea utara dan sebagian China dan Vietnam.[4]
D. Faktor
yang Mempengaruhi Timbulnya Pluralisme Agama
1. Faktor
Internal
Faktor
internal disini yaitu mengenai masalah teologis. Keyakinan seseorang yang
mutlak dan absolut terhadap apa yang diyakini dan diimaninya merupakan hal yang
wajar. Sikap absolutisme agama tak ada yang mempertantangkannya hingga muncul
teori tentang relativisme agama. Pemikiran relativisme ini merupakan sebuah
sikap pluralisme terhadap agama.
2. Faktor
Eksternal
a. Faktor
Sosio-Politik
Faktor
ini berhubungan dengan munculnya pemikiran mengenai masalah liberalisme yang
menyuarakan kebebasan, toleransi, kesamaan, dan pluralisme. Liberalisme inilah
yang menjadi cikal bakal pluralisme. Pada awalnya liberalisme hanya menyangkut
mengenai masalah politik belaka, namun pada akhirnya menyangkut masalah keagamaan
juga. Politik liberal atau proses demokratisasi telah menciptakan perubahan
yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan pandangan manusia terhadapa
agama secara umum. Sehingga dari sikap ini timbullah pluralisme agama.
Situasi
politik global yang kita alami saat ini menjelaskan kepada kita secara gamblang
tentang betapa dominannya kepentingan politik ekonomi barat terhadap dunia
secara umum. Dari sinilah terlihat jelas hakikat tujuan yang sebenarnya sikap
ngotot barat untuk memonopoli tafsir tunggal mereka tentang demokrasi. Maka
pluralisme agama yang diciptakan hanya merupakan salah satu instrumen politik
global untuk menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan lain yang akan
menghalanginya.
b. Faktor Keilmuan
Pada
hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan munculnya
pluralisme. Namun yang berkaitan langsung dengan pembahasan ini adalah maraknya
studi-studi illmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering dikenal
dengan perbandingan agama. Diantara temuan dan kesimpulan penting yang telah
dicapai adalah bahwa agama-agama di dunia hanyalah merupakan ekspresi atau
manifestasi yang beragam dari suatu hakikat metafisik yang absolut dan tunggal,
dengan kata lain semua agama adalah sama.[5]
E.
Kesimpulan
Pluralisme awalnya muncul sebagai mazhab sosial
politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk
gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Saat
itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat
secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa
sekte Kristen masih mengalami perlakuan diskriminatif dari gereja. Diskriminasi
ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras
dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908). Ada pula doktrin
"di luar gereja tidak ada keselamatan". Ini tetap dipegang teguh oleh
Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun
1960-an, yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama
selain Kristen.
Pluralisme merupakan upaya untuk mewujudkan
persatuan, kerjasama, atau meningkatkan saling pengertian diantara pemeluk
agama yang berbeda-beda, untuk menciptakan kerukunan beragama sehingga tidak
akan terjadi konflik-konflik antara agama satu dengan agama lainnya. Syarat
agar tidak terjadinya konflik antar agama tidak memberikan hak istimewa kepada
salah satu agama saja, melainkan memberi hak yang sama.
Proses yang mempengaruhi terjadinya atau timbulnya
pluralisme agama ada dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal mengenai masalah teologi. Sedangkan faktor eksternal mengenai
sosiol-politik dan keilmuan.
Daftar Pustaka
Fatih,
Tanuri Abu. Konsep Pluralisme Agama Sebuah Tujuan, http://www.rumahmakalah.com,
Maret 2015 diakses tanggal 20 November 2015, pukul 11.51
Hadi,
Usman. Islam dan Pluralisme. http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id.
diakses
tanggal 20 November 2015. pukul 07.48.
Huda,
M. Dimyati. Pluralisme Dalam Beragama. Kediri: STAIN Kediri Press. 2009
Saleh, Fauzan. Kajian Filsafat Tentang
Keberadaan Tuhan dan Pluralisme Agama. Kediri: STAIN Ke
[1]Tanuri
Abu Fatih, Konsep Pluralisme Agama Sebuah Tujuan, http://www.rumahmakalah.com,
Maret 2015 diakses tanggal 20 November
2015, pukul 11.51
[2]
M. Dimyati Huda, Pluralisme Dalam Beragama, (Kediri: STAIN Kediri Press,
2009), h. 20
[3]
Fauzan Saleh, Kajian Filsafat Tentang Keberadaan Tuhan dan Pluralisme Agama,
(Kediri: STAIN Kediri Press, 2011), h. 173-174
[4]
Ibid, 176-177
[5]Usman
Hadi, Islam dan Pluralisme Agama, http://usman-wwwmaal-khidmah.blogspot.co.id,
Mei 2012 , diakses tanggal 20 November 2015, pukul 07.48
0 komentar:
Posting Komentar