SEKITAR IBNU RUSYD
(520-595 H/1126-1198M)
1.
Biografi
Ibnu Rusyd
Ibnu
Rusyd adalah seorang filosof islam ketiga terbesar di belahan barat dunia islam yang lahir di Cordova pada tahun 520 H/ 1126 M.
Nama lengkapnya adalah ab’l-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn
Rusyd yang terkenal di Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “averroes”.
Ia berasal dari keluarga ulama yang memiliki pengetahuan luas, terutama dalam hukum
islam. Neneknya terkenal sebagai seorang ulama fikh dalam madzhab maliki dan
pernah menjadi hakim agung Cordova, di samping pengaruhnya yang besar sebagai
seorang politikus dan juga sebagai tokoh juga sebagai seorang ahli fikh dan
ulam besar yang juga pernah menjadi hakim di cordova.[1]
Hal itu terbukti, Ibnu Rusyd bersama-sama merevisi buku Imam Malik,
Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu al-Qasim dan dihapalnya.
Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan.[2]
Ia dipandang sebagai filosof paling menonjol pada periode perkembangan filsafat
Islam mencapai puncaknya (700-1200 M) dan karena ketajaman filsafatnya yang
luas itu, pengaruhnya sangat besar pada fase pemikiran Latin yang kemudian
dikembangkan oleh Barat dari tahun 1200-1650 M.[3]
Kota Cordova
terkenal sebagai pusat studi-studi filsafat, sedangkan Seville terkenal karena
aktivitas-aktivitas artistiknya. Dalam sebuah dialog antara Ibnu Rusyd dengan Ibnu
Zuhr, ahli fisika, ketika berada digedung pengadilan Al-Mansur ibn ‘abd Al
mu’min, Ibnu Rusyd yang merasa bangga dengan suasana ilmiah kota kelahirannya
berkata: “ Jika seorang terpelajar meninggal di Seville, maka bukunya akan
dikirim ke Cordova untuk di jual disana; dan jika seorang penyanyi meninggal di
Cordova, maka alat-alat musiknya akan di kirim ke Seville”. Cordova pada saat itu menjadi saingan bagi Damaskus,
Baghdad, Kairo dan kota-kota besar lainnya di negeri-negeri islam di Timur.[4]
Bahkan suatu hal yang
sangat mengagumkan dari Ibnu Rusyd adalah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan
untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Abrar, sejak mulai berakal Ibnu Rusyd
tidak pernah meninggalkan berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya
meninggal dan malam perkawinannya.
Ibnu Rusyd lahir pada masa pemerintahan Almurafiah yang digulingkan oleh
golongan Almuhadiah di Marrakusy pada tahun 542 H/ 1147 M, yang menaklukkan
Cordova pada tahun 543 H/ 1148 M. Gerakan al-Muhadiah dimulai oleh ibnu Tumart
yang menyebut dirinya sebagai al-Mahdi. Dia berupaya meniru golongan Fatimiah,
yang seabad sebelumnya dan berhasil mendirikan sebuah kekaisaran di Mesir dalam
hal semangat berfilsafat mereka, penafsiran-penafsiran rahasia mereka serta
kehebatan mereka dalam bidang astronomi dan astrologi. Tiga orang pewarisnya,
dari golongan al Muhadiah, ‘abd al-Mu’min, Abu Ya’qub dan Abu Yusuf, yang
diabdi oleh Ibn Rusyd, terkenal karena semangat berilmu dan berfilsafat mereka.
Khalifah Abu Ya’qub Abu Muhammad ‘Abd Al-Mu’min dari Dinasti Al-Muwahhid di Maroko, sangat kagum atas
keluasan pandangan dan kedalaman filsafat Ibnu Rusyd ketika ia diundang ke
istana khalifah atas prakarsa Ibnu Thufail sebagai guru dan sahabatnya. Ia
juga berhasil membuat komentar terhadap filsafat Aristoteles: pendek, sedang,
dan panjang. Demikian bagus dan mengesankan pemahamannya tentang filsafat
Aristoteles sehingga orang tidak perlu membaca naskah aslinya. Cukup membaca
komentar Ibnu Rusyd, orang akan memahaminya bagaikan membaca naskah aslinya.
Padahal, ia tidak menguasai bahasa Yunani, yakni bahasa yang dipakai
Aristoteles dalam karyanya. Untuk keahliannya ini, ia layak diberi gelar
kehormatan The Famous Comentator of Aristotle. Gelar ini pertama kali
diberikan oleh Dante Alagieri, pengarang buku Divine Comedy. Ini dapat
dijadikan bukti tingginya kemampuan Ibnu Rusyd dalam berfilsafat dan tidak ada
duanya dalam mengomentari filsafat Aristoteles.[5]
Kesibukan Ibn Rusyd sebagai seorang pejabat negara ,- Ketua Mahkamah Agung,
guru besar, dan dokter istana- menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua. Dengan
realitas yang dialaminya dan mendapatkan dukungan dari berbagai penguasa ilmu,
Ibn Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang sulit ditandingi. Akan tetapi pada
tahun 1195 M, ia terkena mihnah, fitnah sehingga ia dibuang ke Lucena, di
kepulauan Atlantik, kemudian buku-bukunya dibakar di depan umum dan
pemikirannya tentang filsafat dan sains dilarang untuk disebarkan, kecuali
kedokteran dan astronomi.
Tuduhan yang dilontarkannya berkanaan dengan penulisannya dalam beberapa
bukunya mengenai pengakuannya bahwa dia telah melihat jerapah di dalam taman
raja orang-orang Barbar. Dalam pembelaanya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa dia
telah menulis “raja dua negeri”. Kisah kedua dia telah mengemukakan, dia telah
menulis bahwa Venus itu Suci. Kisah ketiga mengemukakan, dia menyangkal
kebenaran historis mengenai orang-orang ‘Ad yang disebut-sebut dalam al-Qur’an.
[6]
Untung masa getir yang dialami Ibn Rusyd ini tidak berlangsung lama (satu
tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya
direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rusyd tidak lama menikmati keadaan
tersebut. Ibnu Rusyd pergi ke Marakesy dan ia meninggal di sana pada tanggal 10
Desember 1198 M / 9 Shafar 595 H dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi
dan 75 Tahun menurut perhitungan tahun hijriah. Jenazahnya dibawa ke Cordova
untuk dimakamkan di sana.
- Karya-karya Ibn Rusyd
Telah dikemukakan bahwa Ibnu Rusyd adalah seorang pengarang yang produktif.
Salah satu kelebihan karya tulisannya ialah gaya penuturan yang mencakup
komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekedar
deskripsi belaka. Namun, amat disayangkan karangannya sulit ditemukan dan
sekiranya ada sudah diterjemahkan orang kedalam bahasa Latin dan Hebrew
(Yahudi), bukan dalam bahasa aslinya (Arab). Ini semua akibat tragedi nista
yang menimpa dirinya ketika diadili dan dibuang ke Lucena di mana buku-bukunya
yang mengandung filsafat dimusnahkan. Tragedi kedua yang lebih fatal disaat
jatuhnya Andalus ke tangan Ferdinant II dan Isabella. Jenderal Ximenes yang fanatik
dengan kemenangan Kristen membakar habis buku-buku yang berbau Arab dan sudah
barang tentu buku-buku Ibnu Rusyd ikut di dalamnya.[7]
Ibn rusyd meninggalkan
banyak karya tulis. Ernert Renan (1823-1892 M) yang melacak karya-karyanya
berhasil mengidentifikasi 78
buah judul buku, meliputi:
- 28 buah dalam bidang filsafat
- 20 buah dalam kedokteran
- 5 buah dalam teologi
- 8 buah dalam hukum
- 4 buah dalam astronomi
- 2 buah dalam sastra
- 11 buah dalam ilmu-ilmu lain.[8]
Buku-buku tersebut hampir semua dalam bahasa Latin dan Ibrani yang
merupakan terjemahan dari buku-buku asli yang hilang , kecuali sepuluh buah
yang masih ada dalam bahasa Arab, yaitu dua buah dalam ilmu filsafat, tiga buah
dalam ilmu kedokteran, tiga buah dalam hukum islam dan dua buah dalam ilmu
kalam.[9]
Beberapa karya-karya IbnuRusyd, antara lain adalah:
1. Fashl al Maqal fi Ma bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min
al-Ittishal, diterbitkan oleh
Joseph Muller di Munich Jeman tahun 1859 bersama dengan buku Manahij al-Adillah dan Dhamimah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim, dengan
judul “Falsafah Ibnu Rusyd”. Kitab tersebut kemudian diterbitkan di Kairo pada
tahun 1895, dan diterbitkan lagi di Kairo oleh Dar al-Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyah (tanpa tahun). Buku tersebut mengungkapkan metoda
rasional yang menjadi landasan Ibnu Rusyd dalam pembahasan persoalan-persoalan
filsafat, dan merupakan salah satu buku penting, khususnya jika dipersoalkan
apakah Ibnu Rusyd berhasil menerapkan metoda tersebut pada semua persoalan
filasafat, ataukah ia tidak sependapat mengenai sebagian pandangan dan
pendapat.
2. Al-Kasyf ‘an
Manahij al-Adillah di ‘Aqa’id al-Millah, yang sudah disebutkan
di atas. Diterbitkan oleh Joseph Muller di Munich Jeman tahun 1859 bersama
dengan kitab Fashl al Maqal dan Dhamimah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim,
dengan judul “falsafah Ibnu Rusyd”. Dalam buku ini Ibnu Rusyd terlebih dahulu
menampilkan pandangan para mutakallimin, lalu ia mengeritik mereka dengan
menunjukkan pandangannya sendiri. Buku tersebut merupakan penerapan metoda yang
ditawarkan oleh Ibnu Rusyd dalam Fashl al-Maqal.
3. Dhamimah li
Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim. Seperti dua buku yang sudah
disebutkan, buku ini diterbitkan oleh Joseph Muller di Munich Jeman pada tahun
1859. Dalam buku tersebut terdapat tinjauan Ibnu Rusyd terhadap persoalan ilmu
Tuhan (al-‘Ilm al-Ilahi), yaitu
apakah semata-mata merupakan pengetahuan universal ataukah merupakan
pengetahuan terhadap semua partikular secara terpisah-pisah.
4. Tahafut
al-Tahafut dicetak di Kairo pada tahun 1895 di
al-Mathba’ahal-A’lamiyah bersama buku Tahafut
al-Falasifah karya Al-Ghazali dan Thahafut
karya Khawjah Zadeh dari manuskrip Konstantinopel (Istanbul), yaitu
manuskrip tertua buku tersebut. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Van den Berg pada tahun 1954 menjadi dua jilid tebal. Jilid
pertama berisi terjemahan, dan jilid kedua berisi keterangan dan catatan kaki.
Dalam buku tersebut Ibnu Rusyd menolak serangan Al-Ghazali dan membela
filsafat.
5. Hal yattashilu
bi al-‘Aql al-hayali al-‘Aql al-fa’al wa Huwa Multabis bi al-Jism. Makalah,
diterbitkan oleh Mourata dan diterbitkan kembali oleh Dr. Ahmad Fuad al-Ahwani
bersama Takhlish Kitab al-Nafs pada
tahun 1950 di Kairo.
6. Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid dalm bidang fiqih,
dicetak di Istanbul pada tahun 1915. Trdapat cetakan Kairo 1950. Buku ini
menjadi salah satu referensi penting dalam fiqih Maliki. Dari buku tersebut
diketahui pandangan Ibnu Rusyd dalam bidang fiqih, serta pandangannya mengenai
persesuaian akal dan syara’.
7. Kulliyat fi
al-Tibb. Kitab naskah salinan fotokopi tahun 1939. Ada pada
salah satu seri terbitan Institut Franco (Lembaga Riset Barat di Spanyol). Buku
tersebut telah ditejemahkan ke dalam bahasa latin dengan judul Colliget, dan menjadi referensi pada
Orientalis. Buku ini merupakan salah
satu buku terpenting dalam kedokteran. Terlihat pengaruh Aristoteles pada buku
tersebut, di samping kritiknya pada para pendahulunya dalam beberapa bidang
pengobatan. Buku tersebut memuat segi-segi pengobatan dan karakteristik anggota
badan.
Beberapa ulasan dan Ringkasan
8. Talkhis Kitab
al-Nafs. Disunting oleh Dr. Ahmad Fuad Al-Ahwani, Kairo,
1950. Buku ini merupakan buku mengenai teori pengetahuan.
9. Talkhis Kitab
al-Hass wa al-Mahsus, disunting oleh Dr. Abdurrahman Badawi
tahun 1954 di Kairo (Maktabah al-Nahdhah al-Mishiyah). Dicetak bersama Kitab
al-Nafs Aristoteles dan buku-buku lainnya.
10. Talkhis Kitab
al-Khitabah. Naskah salinan fotostatir di Dar
al-Kutub al-Mishriyah dari naskah tulisan yang tersimpan di perpustakaan
Florence, dicetak di percetakan Kurdistan al-‘Ilmiyah tahun 1011. Disunting
oleh Dr. Abdurrahman Badawi pada tahun 1960 (Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah)
Kairo.
11. Tafsir Ma ba’d
al-Thabi’ah, suntingan Maurice Bouyges sebanyak
tiga jilid dari tahun 1938 sampai 1952
(Al-Mathba’ah al-Katsulikiyah Beirut). Berisi pengetahuan penting dan
penjelasan khusus mengenai penafsiran, juga kritik Ibnu Rusyd terhadap para
mutakallimin dan Ibnu Sina.
12. Tafsir Ma ba’d
al-Thabi’ah, suntingan Maurice Bouyges sebanyak
tiga jilid dari tahun 1938 sampai 1952 (Al-Mathba’ah al-Katsulikiyah Beirut).
Berisi pengetahuan penting dan penjelasan khusus mengenai penafsiran, juga
kritik Ibnu Rusyd terhadap para mutakallimin dan Ibnu Sina; juga teori megenai
kekekalan alam.
13. Talkhis Ma ba’d
al-Thabiah, naskah tulisan di Dar-al Kutub al-Mishriyah dan
Majmu’ah dengan judul Al-Jawami’.
Naskah fotostatis ditulis di naskah tersebut di atas diterbitkan oleh Carlos
Rodriguez di Madrid tahun 1919. Berisi lembaran-lembaran yang dianggap
sepenuhnya berasal dari pandangan Ibnu Rusyd sendiri, sebagai pengaruh yang diterimanya
dari Aristoteles serta usahanya untuk mengukuhkan pandangannya yang berdasar
syariat Islam.
14. Kitab
al-Sama’al-Thabi’i. naskah tulisannya terdapat di Dar
al-Kutub al-Mishriyah bersama Majmu’ah.
15. Talkhis Kitab
al-Sama’ wa al-‘Alam. Naskah tulisan terdapat di Dar
al-Kutub.
16. Talkhis Kitab
Al-Atsar al-‘Alawiyah. Naskah tulisan terdapat di Dar
al-Kutub al-Mishriyah bersama Majmu’ah.
17. Talkhis Kitab
al-Kawn wa al-Fasad. Naskah tulisan terdapat di Dar
al-Kutub al-Mishriyah bersama Majmu’ah.
18. Talkhis Kitab
al-Maqalat. Naskah tulisan terdapat di Dar al-Kutub
al-Mishriyah bersama al-Majmu’ah.
19. Talkhis Kitab
al-‘Ibarah. Naskah tulisan terdapat di dar al-Kutub
al-Mishriyah bersama Majmu’ah.
20. Talkhis Kitab
al-Qiyas. Naskah tulisan terdapat di dar al-Kutub
al-Mishriyah bersama Majmu’ah.
21. Talkhis Kitab
al-Burhan. Naskah tulisan terdapat di dar al-Kutub
al-Mishriyah bersama Majmu’ah.
22. Sarh Urjuzah
Ibnu Sina fi al-Thibb. Naskah tulisan terdapat di Dar
al-Kutub al-Mishriyah bersama Majmu’ah.
Di antara
kitab-kitab Ibnu Rusyd yang terkenal adalah:
1)
Dalam ilmu fikih; Bidayatu’l-Mujtahid
wa Nihayatu’l-Muqtashid.
2)
Dalam ilmu kalam: fashlu’l-Maqal
fi ma baina’l-hikmah wa’sy-Syariah mina’l-Ittishal.;Al-Kasyfu ‘an
Manahiji’l-Adillah fi ‘Aqa’id’l-Millah.
3)
Dalam ilmu filsafat: Tahafut
at-Tahafut. Kitab ini ditulis untuk menyanggah kitab Tahafutu’l-Falasifah, katya al-Ghozali, dan
merupakan kitan yang paling dikenal dalamdunia filsafah.
4)
Dalam ilmu kedokteran: al-Kulliyyat.
- Pemikiran
Ibnu Rusyd
a. Pencarian
Tuhan
Ibnu Rusyd membicarakan
filsafat ketuhanan di berbagai karangannya, antara lain pada Tahafut al Tahafut
dan Mana-hij al-Adillah, filsafat ini membahas tentang wujud Tuhan,
sifat-sifat-Nya dan hubungannya dengan alam. Ibnu Rusyd meneliti berbagai
golongan yang timbul dalam islam. Menurut pendapat dia yang paling terkenal ada
4, yaitu: Asy’ariyah. Mu’tazilah, Batiniah, dan Hasyiwiah.[11]
Masing-masing golongan mempunyai kepercayaan yang berlainan tentang Tuhan, dan
banyak memindahkan kata-kata syara’ dari arti lahirnya kepada takwilan-takwilan
yang disesuaikan dengan kepercayaannya. Kemudian mereka mengira bahwa
kepercayaan itulan yang merupakan syariat yang harus dianut oleh semua orang
dan barang siapa yang menyimpang darinya berarti kafir atau telah menjadi
bid’ah. Sebab terjadinya keadaan tersebut ialah karena mereka sudah menyimpang
dari maksud syara’ dan tidak dapat memahami.
Menurut Hasyawiah,
jalan menuju Tuhan adalah lewat pengajaran lisan dan bukan nalar. Maksudnya,
untuk mengerti Tuhan dicapai dengan mendengar informasi yang disampaikan Rasul
Saw., dan nalar tidak ada kaitannya dengan masalah ini. Sebaliknya, golongan
Asy’ariyah percaya bahwa jalan menuju Tuhan adalah lewat rasio. Dari sini, kaum
Asy’ariyah kemudian melahirkan doktrin-doktrin bahwa dunia ini tidak kekal,
bahwa benda-benda terdiri atas atom-atom dan ataom-atom tersebut diciptakan,
dan bahwa perantara adanya dunia ini tidak kekal dan juga tidak sementara. Terhadap
golongan Mu’tazilah Ibnu Rusyd berkomentar, bahwa sehubungan tidak mengetahui
metode-metode yang digunkan dalam argument tentang ketuhanan, karena
kitab-kitabnya yang sampai kepadanya tidak ada. Namun, nampaknya mereka tidak jauh dari metode yang dipergunakan oleh
golongan Asy’ariyah.[12]
Adapun golongan
Asy’ariyah yang berpendirian bahwa jalan menuju Tuhan ialah sama’ (tiwayat),
bukan akal (pikiran). Iman bagi mereka ialah mendengarkan apa yang dikatakan
oleh syara’ tanpa mengusahakan pentakwilannya. Golongan tersebut selalu memegangi
lahirnya, ketentuan syara’.
Menurut Ibnu Rusyd
syara’ tidak bertentangan dengan filsafat karena filsafat itu pada hakikatnya
tidak lebih daripada bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya
Pencipta.[13]
Dalam hal ini, syara’ pun telah mewajibkan orang memepergunakan akalnya,
seperti yang jelas dalam firman Allah (terjemahnya): “ apakah mereka tidak
memikirkan (bernalar) tentang kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu
yang diciptakan Allah.” (al-A’raf:185). Dan firman Allah (terjemahnya): “ Hendaklah
kamu beri’tibar (mengambil ibarat) wahai orang-orang yang mempunyai pikiran.”
(al-Hasyr: 2). Bernalar dan beri’tibar seperti yang tersebut dalam dua ayat ini
hannya dimungkinkan dengan kias akali (syllogisme) karena yang dimaksud I’tibar
itu tidak lain dari mengambil sesuatu yang belum diketahuidari apa yang telah
diketahui (istinbath al-majhul mina’l-ma’lum). Upaya ini disebut kias. Dari
itu, bernalar denagn “kias akali” tentang alam ini adalah wajib, demikian pula
“nalar falsafi” adalah wajib.
Ibnu Rusyd menawarkan
dua cara yang tepat untuk mencapai Tuhan, dan kedua cara ini bisa diikuti
masyarakat awam maupun terpelajar. Yang pertama berfilsafat yang disebut dalil
‘inayah, yang kedua bersifat kosmologis yang disebut dalil ikhtira’.[14]
Dalil ‘Inayah, apabila alam ini kiata
perhatikan, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang ada di dalamnya sesuai
sekali dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain.[15]
Persesuaian ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi menunjukkan adanya
penciptaan yang rapid an teratur, yang didasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan modern.
Adanya siang dan malam,
matahari dan bulan, tumbuh-tumbuhan dan hujan, kesemuanya ini sesuai denagn
kehidupan manusia, seakan-akan mereka itu dijadikan untuk manusia. Demikian
pula perhatian dan kebijaksanaan Tuhan Nampak jelas dalam susunan tubuh manusia
dan hewan.
Dalil inayah ini
mempunyai kelebihan atas dalil-dalil golongan asy’ariyah karena dalil ‘inayah
itu mengajak kita kepada pengetahuan yang benar, bukan sejedar ada argumentasi,
tapi mendorong kita untuk memperbanyak penyelidikan da menyingkap
rahasia-rahasia alam, bukan untuk menimbulkan kesulitan dan kejanggalan.[16]
Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd siapa saja yang ingin mengenal Allah wajib
mempelajari kegunaan segala yang ada di alam ini.
Dalil Ikhtira’, seperti telah disebut
sebelumnya dalil ini didasarkan pada fenomena penciptaan segala makhluk ini,
seperti kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuhan, dan sebagainya.[17]
Pada masing-masing makhluk terdapat gejala hidup yang berlainan dan yang
menentukan macam pekerjaannya. Semakin tinggi tingkatan makhluk, semakin tinggi
pula macam pekerjaannya. Kesemuannya ini tidak terjadi secara kebetulan, sebab
kalau terjadi secara kebetulan tentulah tingkatan hidup tidak berbeda-beda.
Dengan mengamati berbagai benda mati yang kemudian terjadi kehidupan padanya,
kita yakin adanya Allah yang menciptakan. Demikian juga berbagai bintang di
angkasa tunduk seluruhnya pada ketentuan Allah. Ini semua adalah bukti adanya
Pencipta.
Dalil ikhtira’ seperti
halnya dengan dalil’inayah, mendorong kita untuk mengikuti jalan keilmuwan
sejauh mungkin. Dalil tersebut lebih berguna dari pada atom atau dalil
wajib-mumkin dan lain-lain. Kelebihan dalil ikhtira’ ialah karena ia dipakai
oleh syara’ sendiri dan menguatkan adanya kebijaksanaan Tuhan.[18]
Kedua cara tersebut
menurut Ibnu Rusyd lazim dipakai golongan terpelajar maupun awam. Bedanya,
orang awam puas hanya dengan pengetahuan indriawi, kaum terpelajar hanya bisa
percaya setelah dibuktikan.
b. Jalan
Menuju Pengetahuan
Dalam rangka membela filsafat dan filsuf muslim dari serangan para
ulama, terutama AL-Ghazali, Ibnu Rusyd antara lain menegaskan bahwa antara
agama (islam) dan filsafat tidak ada pertentangan. Inti dari filsafat tidak
lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui segala pencipta yang ada ini.
Berdasarkan perintah al-Qur’an bahwa kaum muslim wajib berfilsafat, atau
mempelajari (mengambil manfaat) filsafat Yunani, bukan dilarang atau diharamkan.
Menurut Ibnu Rusyd, bila ada teks wahyu yang arti lahiriyah bertentangan dengan
pendapat akal, teks itu haruslah ditakwilkan atau ditafsirkan sedemikian rupa
sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.[19]
Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari al-Ghazali terhadap
para filosof muslim, yaitu tiga butir di antaranya para filosof Muslim
dihukumnya kafir: kadimnya alam, Allah tidak mengetahui yang rincian alam, dan
kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada. Ibnu rusyd sebagai seorang filososf muslim
merasa wajib menjawab sanggahan tersebut, yang tidak pula kalah mautnya dari
sanggahan Al-Ghozali. Menurut Ibnu Rusyd bukan pemikiran para filosof muslim
yang rancu, melainkan pemikiran Al_Ghazali sendiri. Justru itu kata Ibnu Rusyd,
judul buku Al-Ghazali tersebut yang tepat adalah Tahafut Abi Hamid, kacaunya
pemikiran Abu Hamid (Al-Ghazali), bukan Tahafut al-Falsafat, kacaunya pemikiran
para filosof.
Ibnu rusyd membagi manusia dalam tiga golongan, sebagaimana dalam
al-Qur’an. Manusia terdiri atas tiga golongan: para filsuf, para teolog, dan
orang-orang awam (al-Jumhur). Para filsuf ialah kaum yang menggunakan cara
demonstrative. Para teolog yaitu orang-orang Asy’ariyah, yang ajaran-ajaran
mereka menjadi ajaran-ajaran resmi pada masa Ibnu Rusyd ialah kaum yang lebih
rendah tingkatannya karena mereka memulai dari penalaran dealektis dan bukan
dari kebenaran ilmiah. Orang awam ialah orang yang retoris yang hanya bisa
menyerap sesuatu lewat contoh-contoh dan pemikiran puitis.[20]
Konsep Ibnu Rusyd dalam
kaitannya dengan pengetahuan tidak lepas dari uapaya untuk mempertemukan agama
dan filsafat. Menurutnya, pengetahuan bersumberatas dua hal: realitas dan
wahyu.[21]
Realitas sendiri, sebagaimana dalam pandangan metafisikanya, terdiri atas dua
hal, yaitu realitas metafisik (ma’qulat) dan material (mahsusat); realita
smetafisik melahirkan filsafat, sedangkan realitas material melahirkan sains.
Sementara itu, wahyu melahirkan ilmu-ilmu keagamaan (ulum al-syar’iyah). Meski
demikian, dua sumber pengetahuan ini tidak bertentangan tetapi selaras dan
saling berkaitan karena keduanya berasal dari sumber yang sama, Tuhan Yang Maha
Esa; sesuatu yang berasal dari sumber yang sama tidak mungkin bertentangan.
Menurut Ibnu Rusyd
rasio berfungsi sebagai sarana untuk memahami sumber pengetahuan tersebut, dan
bukan sebagai sumber pengetahuan. Berkaitan dengan rasio ini, Ibnu Rusyd
membagi menjadi dua bagian, praktis
dan teoretis. Akal praktis lazim
dimiliki semua orang. Unsur ini merupakan asal daya cipta yang digunakan untuk
melestarikan kehidupannya. Akal praktis bisa diperoleh lewat pengalaman yang
didasarkan atas perasaan dan imajinasi. Karena itu, akal praktis ini tidak
stabil, mudah berubah, berkembang atau menyusut berdasarkan pengalaman,
imajinasi, gambaran dan persepsi yang diterima. Namun, denagn akal praktis ini
manusia bisa berteman, bermasyarakat, mencintai maupun membenci. Apa yang
dinamakan kebaikan dan keburukan tidak lain adalah hasil dari akal praktis.
Sementara itu, akal
teoritis berkaitan dengan penalaran dan pengetahuan teoritis. Dalam hal ini,
akal mempunyai tiga tahapan kerja, yaitu abstraksi, kombinasi dan penilaian.
Pertama, abstraksi adalah proses penggambaran atau penyerapan gagasan universal
atas objek-objek yang ditangkap oleh indra. Ibnu Rusyd mempersyaratkan bahwa
objek ini harus merupakan sesuatau yang wujud, bukan yang tidak wujud, karena
akal hanya berkaitan dengan wujud bukan dengan yang tidak wujud. Objek-objek
wujud ini diserap oleh akal dan masuk kedalam jiwa sebagai konsep-konsep
universal.
Kedua kombinasi,
maksudnya akal mengkombinasikan dua atau lebih dari abstraksi-abstraksi indra
sehingga menjadi sebuah konsep. Dari berbagai abstraksi indra tentang manusia
akhirnya menghasilkan konsep tentang manusia yang terdiri atas hewaniah dan
rasionalitas. Dari sini, selanjutnya bisa didapatkan substansi sesuatu, dan
substansi yang lengkap akan membentuk definisi. Ketiga penilaian, diberikan ketika konsep-konsep yang dihasilkan harus
dihadapkan pada proposisi-proposisi, benar atau salah.
Sejauh ini, agama sejalan
dengan filsafat. Tujuan dan tindakan filsafat sama dengan tujuan dan tindakan
agama. Yang ada adalah masalah keselarasan keduanya dalam metode dan
permasalahan materi. Jika yang tradisional itu (al-manqul) ternyata bertentangan dengan yang rasional (al-ma’qul), yang tradisional harus
ditafsirkan sedemikian rupa supaya selaras dengan yang rasional. Penafsiran
yang bersifat alegoris (ta’wil)
didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam al-Qur’an dan ayat-ayat yang tersurat
dan tersirat (batin). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meminjam istilah
Ahmad Fuad Al-Ahwani, “Filsafat ialah saudara kembar agama; keduanya merupakan
sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.”[22]
- DAFTAR
PUSTAKA
Daudy, Ahmad. Kuliah
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Supriyadi, Dedi. Pengantar
Filsafat Islam (Konsep,
Filsuf, Dan Ajarannya). Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Nasution,
Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Mustofa. Fisafat
Islam. Bandung : Pustaka Setia, 1997.
Zar,
Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Saleh, Khudori. Filsafat
Islam: dari klasik hingga kontemporer.
Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2013.
Hanafi,
Ahmad. Pengantar Filsafat. Jakarta:
Bulan Bintang, 1996.
[1]
Ahmad daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm. 153
[2]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep,
Filsuf, Dan Ajarannya), Bandung: Pustaka Setia, 2009. Hlm: 225-226
[4]
Mustofa, Fisafat Islam. Bandung : Pustaka Setia, 1997. Hlm: 284
[5] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) hlm.
223.
[8] Khudori Saleh. Filsafat
Islam: dari klasik hingga kontemporer.
Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2013. Hlm:156
[9]
Ahmad Daudy. Kuliah Filsafat . . . . Hlm:
156
[10]
Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd. Jakarta: Dian Rakyat, 2008.
Hlm:67-72
[15]
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat.
Jakarta: Bulan Bintang, 1996. Hlm: 171
[18]
Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat . . Hlm:
172
0 komentar:
Posting Komentar